BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Modernisme bisa saja menjadi simbol
kemajuan, bisa pula menjadi tanda kemunduran umat manusia. Pada kenyataannya,
modernisme makin hari membawa diri kita terselubungi hal-hal baru yang semakin bertolak
belakang dengan nilai-nilai luhur yang diwariskan para pendahulu kita. Akibatnya,
penghayatan terhadap Islam mulai digantikan dengan penghayatan duniawi yang
serba ingin modern. Prinsip materialistik memenuhi pikiran manusia, yang
melepaskan kontrol agama dan kebebasan bertindak demi memenuhi modernisme telah
berkuasa untuk mengalahkan terapi sufisme atau tasawuf.
Tasawuf sebagai salah satu pilar
utama dalam Islam harus dapat menyesuaikan diri di dunia modern. Pada
hakikatnya dunia dijadikan oleh Allah sebagai tempat untuk manusia mengabdi, ia
adalah tempat ujian untuk menguji keimanan hamba-hamba-Nya, sebagai tempat dan
alat ia sepatutnya dilihat sebagai sesuatu yang netral.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana ciri-ciri kehidupan modern ?
2.
Bagaimana hubungan kehidupan modern
saat ini dengan tasawuf ?
3.
Apa fungsi tasawuf dalam kehidupan
masyarakat modern
?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui
ciri-ciri kehidupan modern.
2.
Mengetahui
Hubungan antara tasawuf dan dunia modern.
3.
Mengetahui
fungsi tasawuf dalam dunia modern.
4.
Memenuhi
tugas mandiri mata kuliah Akhlak Tasawuf.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Tasawuf dan Ciri-Ciri Dunia Modern
Ibnu Khaldun menyatakan bahwa tasawuf itu adalah semacam ilmu syari’ah
yang timbul kemudian di dalam agama. Asalnya ialah bertekun beribadat dan
memutuskan pertalian dengan segala selain Allah, hanya menghadap Allah semata.
Menolak hiasan-hiasan dunia, serta membenci perkara-perkara yang selalu mendaya
orang banyak, kelezatan harta benda, dan kemegahan. Dan menyendiri menuju jalan
Tuhan dalam khalwat dan ibadat.[1]
Sepanjang peradaban manusia dunia
modern mengukir prestasi tersendiri. Akibat langsung tuntutan kebebasan
intelektual sepenuhnya oleh manusia pasca renesans, maka muncullah rasionalisme
dalam segenap kehidupan. Manusia modern yang mencirikan rasionalisme dalam
segenap kehidupan. Manusia modern yang mencirikan rasionalisme ini, secara
kuantitatif, telah menimbulkan dampak prestasi yang luar biasa. Memang harus
diakui bahwa kehidupan yang serba rasional ini telah menimbulkan
perubahan-perubahan amat radikal dalam berbagai bidang Enlightenments,
pencerahan, semangat aktivisme tumbuh sedemikian rupa dan menghantarkan manusia
Barat pada achievements baru. Hasil bersih mutakhir pencapaian itu
adalah ilmu pengetahuan dan teknologi modern.[2]
Pada sisi ideologis, cita kebebasan
intelektual di Barat masa awalnya membidani lahirnya sekularisme. Paham
sekularisme ini selanjutnya tumbuh dan berkembang dan memperoleh sosoknya yang
jelas dalam bentuk materialism. Dan sebagai puncak pertumbuhan sekularisme
tersebut adalah kesaksian sejarah akan lahirnya komunisme di abad XIX. Jika
kita cermati secara lebih sungguh, kenyataan kehidupan serba rasional beserta
budaya sekuler itu ternyata mengundang banyak problem. Sisi penting batiniah
manusia semakin tercerabut dari akar spiritualnya. Akibat logis penekanan yang
tidak seimbang antara dimensi lahiriyah dan dimensi batiniah itu, pada akhirnya,
menyeret mereka pada tragedi kemanusiaan, dalam bentuk desintegrasi sosial dan
moral.[3]
Integrasi kehidupan Rasulullah dan para
sahabatnya dapat dilihat dari aktivitas mereka di dunia ini. Di samping sebagai
kepala rumah tangga beliau juga aktif dalam peperangan keagamaan, social,
politik, ekonomi, perang, dan sebagainya. Hal ini sejalan dengan rumusan
Al-Qur’an tentang zuhud.
Praktek zuhud sebagai maqam cenderung
ekstrem menolak dunia, dan dunia dianggap dikotomi dengan akhirat atau Tuhan.
Pemikiran seperti ini ditangkap oleh sementara pihak tanpa melihat aspek
sosiologisnya. Hal ini perlu diluruskan dan dikembalikan serta dikonsultasikan
kepangkalnya, yakni Al-Qur’an dan Al-Hadits.[4]
Sebenarnya Al-Qur’an atau Islam tidak
melarang umatnya untuk menikmati kehidupan dunia ini, umat Islam diperbolehkan
memakai perhiasan yang baik, memakan yang bergizi, namun yang penting tidak
berlebih-lebihan, karena memang semua ini diperuntukkan bagi umat manusia,
khususnya bagi orang-orang yang beriman nanti di akhirat.
Menikmati kehidupan dunia secara wajar
dan proporsional itu dimaksudkan agar jangan sampai kehidupan dunia itu
mengalahkan kehidupan akhirat, jangan sampai melupakan diri kepada Allah SWT.,
dan di samping itu agar jangan sampaikehidupan seseorang sangat tergantung
kepada materi, sehingga berduka-cita terhadap harta atau sesuatu yang luput
dari tangan dan sangat gembira terhadap apa yang diperolehnya.[5]
xøs3Ïj9 (#öqyù's? 4n?tã $tB öNä3s?$sù wur (#qãmtøÿs? !$yJÎ/ öNà69s?#uä 3
ª!$#ur w =Ïtä ¨@ä. 5A$tFøèC Aqãsù
23.
(kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa
yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira[6]
terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai setiap orang
yang sombong lagi membanggakan diri, (Al-Hadid:23)
Masyarakat
modern selanjutnya sering disebutkan sebagai lawan dari masyarakat tradisional.
Deliar Noer misalnya yang dikutib Abuddin Nata menyebutkan ciri-ciri modern
sebagai berikut:
1.
Bersifat rasional, yakni lebih
mengutamakan pendapat akal pikiran, daripada pendapat emosi. Sebelum melakukan
pekerjaan selalu dipertimbangkan lebih dahulu untuk ruginya, dan pekerjaan
tersebut secara logika dipandang menguntungkan.
2.
Berpikir untuk masa depan yang lebih
jauh, tidak hanya memikirkan masalah yang bersifat sesaat, tetapi selalu
dilihat dampak sosialnya secara lebih jauh.
3.
Menghargai waktu, yaitu selalu melihat
bahwa waktu adalah sesuatu yang sangat berharga dan perlu dimanfaatkan dengan
sebaik-baiknya.
4.
Bersikap terbuka, yakni mau menerima
saran, masukan, baik berupa kritik, gagasan, dan perbaikan dari manapun
datangnya.
5.
Berpikir obyektif, yakni melihat segala
sesuatu dari sudut fungsi dan kegunaannya bagi masyarakat.[7]
Ata’
Muzhar, menyatakan bahwa masyarakat modern ditandai oleh lima hal, yakni: Pertama,
berkembangnya mass culture karena pengaruh kemajuan mass media sehingga
kultur tidak lagi bersifat local, melainkan nasional atau bahkan global. Kedua,
tumbuhnya sikap-sikap yang lebih mengakui kebebasan bertindak manusia menuju
perubahan masa depan. Dengan demikian alam dapat ditaklukkan, manusia merasa
lebih leluasa kalau bukan merasa lebih berkuasa. Ketiga, tumbuhnya
berpikir rasional, sebagian besar kehidupan umat manusia ini semakin diatur
oleh aturan-aturan rasional. Keempat, tumbuhnya sikap hidup yang
materialistic, artinya semua hal diukur oleh nilai kebendaan dan ekonomi. Kelima,
meningkatnya laju urbanisasi.[8]
Masyarakat
modern ialah masyarakat yang cenderung menjadi sekuler. Hubungan antara anggota
masyarakat tidak lagi atas dasar atau prinsip tradisi atau persaudaraan, tetapi
pada prinsip-prinsip fungsional pragmatis. Masyarakat merasa
bebas dan lepas dari control agama dan
pandangan dunia metafisis, ciri-cirinya yang lain ialah penghilangan
nilai-nilai sacral terhadap dunia, meletakkan hidup manusia dalam konteks
kenyataan sejarah, penisbian nilai-nilai. Masyarakat modern yang mempunyai
cirri tersebut, ternyata menyimpan problema hidup yang sulit dipecahkan.
Rasionalisme, sekularisme, materialism, dan lain sebagainya ternyata tidak
menambah kebahagiaan dan ketentraman hidupnya, akan tetapi sebaliknya,
menimbulkan kegelisahan hidup ini.[9]
A. Tasawuf Pada Masyarakat Modern
Sebagai akibat dari sikap hipokrit yang
berkepanjangan maka manusia modern mengidap gangguan kejiwaan antara lain
berupa: (a) Kecemasan, (b) Kesepian, (c) Kebosanan, (d) Perilaku menyimpang,
dan (e) Psikosomatis.[10]
Sebagai makhluk yang memiliki
kesadaran, manusia menyadari adanya problem yang mengganggu jiwanya. Oleh
karena itu, sejarah manusia juga mencatat adanya upaya mengatasi problem
tersebut. Pada masyarakat Barat Modern atau masyarakat yang mengikuti peradaban
Barat yang sekuler, solusi yang ditawarkan untuk mengatasi problem kejiwaan itu
dilakukan dengan menggunakan pendekatan psikologi, dalam hal ini kesehatan
mental (Mental Health). Sedangkan
pada masyarakat Islam, karena mereka (kaum muslimin) pada awal sejarahnya tidak
mengalami problem psikologis seperti yang dialami oleh masyarakat Barat, maka
solusi yang ditawarkan lebih cenderung bersifat religious spiritual, yakni tasawuf atau akhlak. Keduanya menawarkan solusi bahwa manusia itu akan
memperoleh kebahagiaan pada zaman apapun jika hidupnya bermakna. Pernyataan
yang timbul ialah bagaimana hidup bermakna pada zaman modern itu.[11]
Di sinilah kehadiran tasawuf
benar-benar merupakan solusi yang tepat bagi manusia modern, karena tasawuf
Islam memiliki semua unsure yang dibutuhkan oleh manusia, semua yang diperlukan
bagi realisasi keruhanian yang luhur, bersistem dan tetap berada dalam koridor
syariah.[12]
Relevansi tasawuf dengan problem
manusia modern adalah karena tasawuf secara seimbang memberikan kesejukan batin
dan disiplin syariah sekaligus. Ia bisa dipahami sebagai pembentuk tingkah laku
melalui pendekatan tasawuf suluky,
dan bisa memuaskan dahaga intelektual melalui pendekatan tasawuf falsafi. Ia
bisa diamalkan oleh setiap Muslim, dari lapisan social maupun tempat manapun.
Secara fisik mereka menghadap satu arah, yaitu Ka’bah dan secara ruhaniah
mereka berlomba-lomba menempuh jalan tarekat melewati ahwal dan maqam menuju
kepada Tuhan yang satu, Allah SWT.[13]
Sejauh ini, kita memahami bahwa tasawuf hanya sebagai
sarana pendekatan diri manusia kepada Allah SWT melalui segala jenis ritme
ibadah seperti taubat, zikir, iklhas, zuhud, dan lain-lain. Tasawuf dicari
orang lebih untuk sekedar mencari ketenangan, ketentraman dan kebahagian sejati
manusia, ditengah orkestrasi kehidupan duniawi yang tak memiliki arah dan
tujuan pasti. Tasawuf menjadi sangat penting, karena
menjadi fondasi
dasar dalam upaya untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
B. Fungsi Tasawuf dalam Kehidupan Masyarakat Modern
Tasawuf
diibaratkan oleh Amin Abdullah (1996) bagaikan “magnet”. Dia tidak menampakkan
diri ke permukaan, tapi mempunyai daya kekuatan yang luar biasa. Potensi ini
dapat dimanfaatkan untuk apa saja. Dalam kehidupan modern yang serba materi,
tasawuf bisa dikembangkan ke arah yang konstruktif, baik yang menyangkut
kehidupan pribadi maupun sosial. Ketika suatu masyarakat sudah terkena apa yang
disebut penyakit alinasi (keterasingan) karena proses pembangunan dan
modernisasi, maka pada saat itulah mereka butuh pedoman hidup yang bersifat
spiritual yang mendalam untuk menjaga integritas kepribadiannya.[14]
Terdapat sejumlah
alasan tentang sebab-sebab meningkatnya masyarakat modern terhadap tasawuf,
sebagai berikut:
Pertama, salah satu ciri
kehidupan masyarakat modern ialah terlalu mengandalkan kekuatan akal dan fisik,
atau hanya mengakui sesuatu yang masuk akal dan tampak dalam pandangan, yang
selanjutnya melahirkan paham rasionalisme, empirisme, positivisme, sekularisme,
hedonisme, dan pragmatisme. Paham yang demikian sangat merugikan keutuhan
manusia sebagai makhluk yang selain memiliki pancaakal dan pancaindra, juga
memiliki hawa nafsu, al-nafs, qalb, fu’ad, ruh, sirr, dzauq, dan
lainnya. Berbagai potensi rohaniah ini sesuatu yang real yakni ada yang
sesungguhnya, sebagaimana juga akal dan fisik. Akibat dari keadaan hidup yang
hanya mengutamakan akal dan pancaindra ini, maka manusia menjadi robot, dan
mesin yang kehilangan keutuhannya. Akibat keadaan yang demikian, manusia
menjadi tidak utuh, merasa terasing, kesepian, rapuh, tidak punya pilihan dan
pegangan hidup yang kukuh, yakni nilai-nilai spiritual yang berasal dari Allah
SWT. Untuk menyelamatkan keadaan yang demikian perlu ajaran tasawuf.
Kedua, masyarakat
modern yang bergerak dalam bidang jasa dan industri dengan berbagai aneka
ragamnya semakin memerlukan nilai-nilai spiritual yang dapat memberikan bekal
dan pegangan yang kukuh bagi usahanya itu. Menjadi sufi di masa modern saat ini
tidak mesti dengan cara pergi bertapa ke gunung, atau mengisolasi diri ke
tempat yang sunyi, atau membiarkan hidup miskin dan sengsara. Pandangan tasawuf
yang demikian itu kini telah diganti dengan pandangan tasawuf yang
transformatif dan integrated, yaitu nilai-nilai tasawuf seperti kesederhanaan,
kejujuran, keikhlasan, kehati-hatian, kesabaran, keteguhan dalam prinsip,
kepercayaan yang teguh pada Tuhan. Keyakinan pada janji Tuhan dan nilai-nilai
ajaran tasawuf lainnya ternyata sangat dibutuhkan dalam mengelola berbagai
usaha bisnis di zaman modern.
Ketiga, ajaran selalu
dekat dengan Allah SWT. sebagaimana yang diajarkan dalam tasawuf dan
kesungguhan dalam membersihkan diri dari dosa serta kesungguhan mencari
keridhaan Allah SWT. saat ini ternyata juga digunakan dalam proses penyembuhan
berbagai penyakit. Masyarakat modern saat ini sudah mulai sadar, bahwa di
antara penyakit ada yang penyebabnya karena hubungan yang tidak baik dengan Tuhan.
Oleh karena itu, proses penyembuhannya dapat dilakukan dengan mendekatkan diri
kepada Allah SWT. sebagaimana yang diajarkan dalam tasawuf.
Keempat, bahwa jumlah
orang yang gelisah, pikiran kacau, stres, dan gejala penyakit kejiwaan lainnya
saat ini makin banyak jumlahnya. Keadaan jiwa yang demikian itu menyebabkan
produktivitas kerjanya menurun dan ketenteraman hidup makin terancam.
Masyarakat modern yang demikian itu makin membutuhkan sentuhan ruhani dan
pencerahan spiritual yang dapat mengembalikan kehidupannya menjadi lebih
nyaman, tenang, tenteram, damai, dan harmonis yang selanjutnya amat dibutuhkan
guna meningkatkan produktivitasnya.[15]
BAB IV
PENUTUP
Simpulan
Ata’
Muzhar, menyatakan bahwa masyarakat modern ditandai oleh lima hal, yakni: Pertama,
berkembangnya mass culture. Kedua, tumbuhnya sikap-sikap yang lebih
mengakui kebebasan bertindak manusia menuju perubahan masa depan. Ketiga, tumbuhnya berpikir rasional, sebagian
besar kehidupan umat manusia ini semakin diatur oleh aturan-aturan rasional. Keempat,
tumbuhnya sikap hidup yang materialistic. Kelima, meningkatnya laju urbanisasi.
Relevansi
tasawuf dengan problem manusia modern adalah karena tasawuf secara seimbang
memberikan kesejukan batin dan disiplin syariah sekaligus. Terdapat sejumlah
alasan tentang sebab-sebab meningkatnya masyarakat modern terhadap tasawuf, di
antaranya bahwa ajaran tasawuf yang menekankan kedekatan pada Tuhan, mengenal,
dan mencintainya, yang sangat diperlukan untuk mengimbangi kecenderungan
manusia terhadap masalah-masalah yang bersifat duniawi dengan segala akibatnya.
Tasawuf berusaha mengendalikan manusia agar tidak diperbudak oleh dunia yang
fana yang akan menjerumuskannya.
DAFTAR PUSTAKA
Burhani , Ahmad Najib (eds.). 2002. Manusia Modern Mendamba Allah: Renungan Tasawuf
Positif. IIMan & Hikmah. Jakarta.
Emroni, 2001. Ilmu Tasawuf. Perpustakaan
IAIN Antasari. Banjarmasin.
Hamka, 1990. Tasawuf Modern. Pustaka Panjimas. Jakarta.
Nata, Abuddin.
2011. Studi Islam Komprehensif. Kencana. Jakarta.
Syukur, Amin. 2012. Menggugat Tasawuf. Pustaka Belajar.
Yogyakarta.
Syukur, Amin. 2000. Zuhud di Abad Modern. Pustaka
Belajar. Yogyakarta.
Nata,
Abuddin. 2006. Akhlak Tasawuf.
Jakarta. RajaGrafindo Persada.
[1] Hamka, Tasawuf Modern,
(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), h. 2
[2] Emroni, Ilmu Tasawuf,
(Banjarmasin: Perpustakaan IAIN Antasari 2001), h. 26-27
[3] Ibid., h. 27
[4] Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2000), Cet. Ke-2, h. 148
[5] Ibid., h. 159-160
[6]Yang dimaksud dengan terlalu gembira:
ialah gembira yang melampaui batas yang menyebabkan kesombongan, ketakaburan
dan lupa kepada Allah.
[7] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), h. 279-280
[8] Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, Op.cit., h. 177
[9] Ibid.
[10] Psikomatik adalah gangguan fisik yang disebabkan oleh factor-faktor
kejiwaan dan social. Yang sakit sebenarnya jiwanya tapi menjelma dalam bentuk
sakit fisik.
[11] Ahmad Najib Burhani (eds.),
Manusia Modern Mendamba Allah: Renungan
Tasawuf Positif, (Jakarta: IIMan & Hikmah, 2002), h. 175
[12] Ibid., h.179
[13] Ibid., h. 180
Tidak ada komentar:
Posting Komentar