Sabtu, 20 September 2014

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Intelegensi

BAB I
PENDAHULUAN

Belajar merupakan proses dari sesuatu yang belum bisa menjadi bisa, dari perilaku lama ke perilaku baru, dari pemahaman lama ke pemahaman baru. Faktor-faktor belajar adalah peristiwa belajar yang terjadi pada diri pembelajar, yang dapat diamati dari perbedaan perilaku sebelum dan sesudah berada didalam proses belajar, sebab dalam makna belajar adalah adanya perubahan perilaku seseorang kearah yang lebih baik dalam melaksanakan pembelajaran. Prestasi belajar di sekolah sangat dipengaruhi oleh kemampuan umum kita yaitu inteligensi. IQ yang tinggi meramalkan sukses terhadap prestasi belajar. Namun, IQ hanya salah satu penentu keberhasilan belajar. Masih ada hal-hal lain yang juga berperan dalam keberhasilan belajar seseorang. Sedangkan yang akan kami bahas dalam paper kali ini hanya permasalahan yang berkaitan dengan inteligensi anak.
Dalam rangka untuk mengetahui tinggi rendahnya inteligensi seseorang, dikembangkan instrumen yang dikenal dengan istilah “Tes Inteligensi”. Di samping itu dibahas juga beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan intelektual individu diantaranya faktor keturunan, latar belakang social ekonomi, lingkungan hidup, kondisi fisik, dan iklim emosi.
Selain itu, masalah peran orang tua dan pendidikan dalam mengembangkan taraf inteligensi anak juga  menjadi sesuatu yang menarik karena inteligensi itu sendiri merupakan pembawaan dan lingkungan sebagai tempat yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan anak.













BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Intelegensi
Apabila kita telusuri asal-usulnya, kata “inteligensi” erat sekali hubungannya dengan kata “intelek”. Hal ini bisa dimaklumi sebab keduanya berasal dari bahasa Latin yang sama, yaitu intellegere, yang berarti memahami. Intellectus atau intelek adalah bentuk participium intellegere; sedangkan intellegens atau inteligensi adalah bentuk participium praesens (aktif) dari kata yang sama. Bentuk-bentuk kata ini memberikan indikasi kepada kita bahwa intelek lebih bersifat pasif atau statis (being, potensi), sedangkan inteligensi lebih bersifat aktif (becoming, aktualisasi). Berdasarkan pemahaman ini, bisa disimpulkan bahwa intelek adalah daya atau potensi untuk memahami, sedangkan inteligensi adalah aktivitas atau perilaku yang merupakan perwujudan dari daya atau potensi tesebut.[1]
Beberapa definisi intelegensi adalah sebagai berikut:
1.      Terman: Inteligensi adalah kemampuan untuk melakukan berpikir abstrak. Dengan memanipulasikan simbol-simbol, terutama kata-kata, orang yang inteligen mampu berpikir tentang dan berhubungan dengan hal-hal dan ide-ide abstrak. Tindakan yang inteligen meliputi pengarahan, penyesuaian, dan kritik terhadap diri sendiri dalam adaptasi mental.
2.      Thorndike: Inteligensi adalah kemampuan melakukan respons-respons yang baik dan diperlihatkan dengan kecakapannya untuk berhubungan secara efektif dengan situasi-situasi yang baru. Dengan adanya beragam-ragam situasi maka terdapat pula keragaman pola-pola inteligensi seperti situasi yang abstrak, situasi mekanis, dan situasi sosial.
3.      Wechsler: Inteligensi adalah kecakapan global dari individu untuk bertindak secara bertujuan, berpikir secara rasional, dan berhubungan dengan lingkungan secara efektif.[2]
Dalam kehidupan sehari-hari, kita seringkali mendengar orang berbicara mengenai inteligensi sebagai faktor yang menentukan berhasil tidaknya siswa di sekolah.
Pernyataan diatas memang beralasan, karena pada kasus-kasus tertentu sering ditemukan bahwa anak dengan inteligensi yang rendah, di bawah rata-rata normal, cenderung mengalami kesukaran dalam belajar. Karena cara berpikirnya lambat, anak pun mengalami kesukaran beradaptasi dengan teman-teman sekelasnya. Rendahnya prestasi belajar yang anak dapatkan tidak dapat dihindari.  Oleh karena itulah, anak dengan inteligensi yang rendah ditempatkan di kelas-kelas khusus dengan pelayanan khusus pula.[3]
Pengetahuan mengenai tingkat kemampuan intelektual atau inteligensi siswa akan membantu pengajar menentukan apakah siswa mampu mengikuti pengajaran yang diberikan, serta meramalkan keberhasilan atau gagalnya siswa yang bersangkutan bila telah mengikuti pengajaran yang diberikan. Meskipun demikian, perlu diingat bahwa prestasi siswa tidak semata-mata ditentukan oleh tingkat kemampuan intelektualnya. Faktor-faktor lain seperti motivasi, sikap, kesehatan fisik dan mental, kepribadian, ketekunan dan lain-lain perlu dipertimbangkan sebagai faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi prestasi. [4]
Inteligensi mudah diketahui dengan melihat tingkah laku atau perbuatan seseorang dalam menghadapi persoalan. Seseorang yang dapat mengatasi setiap persoalan dengan cepat dan efektif pada situasi yang baru bisa dikatakan perbuatan inteligen. Kepraktisan inteligen memang dilihat dari perbuatan nyata.[5]
Inteligensi sebagai kemampuan yang bersifat bawaan, yang diwariskan dari pasangan suami-istri, akibat pertemuan sperma dan ovum, tidak semua orang memilikinya dalam kapasitas yang sama. Barangkali tidak bisa dipungkiri bahwa manusia memang mewarisi kapasitas untuk menjadi inteligen; untuk orang tertentu kapasitas itu diwarisi dalam batas yang tinggi, sedangkan orang yang lain mungkin dalam batas yang kurang tinggi.[6]
Perbedaan individual dalam bidang inteligensi inilah yang perlu dipahami dan diketahui oleh para guru. Dengan demikian dalam pengelolaan pengajaran, perbedaan intelegensi menjadi salah satu pertimbangan dalam pengelolaan pendidikan dan pengajaran itu sendiri.
B.     Tes Inteligensi
Bagaimana kita dapat mengetahui kecerdasan atau inteligensi? Dapatkah inteligensi itu diukur? Bagaimana kita dapat menentukan cerdas tidaknya seseorang? Salah satu cara ialah dengan menggunakan tes yang disebut “tes inteligensi”.
Tes inteligensi adalah tes yang bertujuan mengukur inteligensi dan inteligensi adalah apa yang diukur oleh tes inteligensi.
Pada tahun 1933, seorang ahli psikologi berkebangsaan Inggris, Cyril Burt, menulis: Melalui inteligensi, ahli psikologi bisa memahami kemampuan intelektual keseluruhan yang dibawa sejak lahir. Kemampuan tersebut diwariskan, atau paling tidak bawaan, tidak ada kaitannya dengan pengajaran atau pelatihan; kemampuan itu intelektual, bukan emosional atau moral, dan tidak terpengaruh oleh kerajinan atau semangat; kemampuan tersebut umum, tidak khusus, yaitu tidak terbatas pada jenis pekerjaan tertentu, tetapi masuk ke dalam semua yang kita lakukan, atau kita katakan, atau kita pikirkan. Dari semua kualitas mental kita, inilah yang paling jauh jangkauannya. Untunglah kemampuan itu dapat diukur dengan tepat dan mudah.[7]
Pengukuran tingkat inteligensi dalam bentuk perbandingan diajukan oleh William Stern (1871-1938), seorang ahli jiwa berkebangsaan Jerman, dengan sebutan Intelligence Quotient yang disingkat IQ artinya perbandingan kecerdasan. Rumus perhitungan yang diajukan adalah:[8]
 IQ =  x 100
Berdasarkan hasil bagi inteligensi, maka hasil bagi yang diperoleh dari pembagian umur kecerdasan dengan umur sebenarnya, yang menunjukkan kesanggupan rata-rata kecerdasan seseorang. Pembagian itu adalah:
1.      Luar biasa (genius)       IQ di atas 140
2.      Pintar (begaaf)              110-140
3.      Normal (biasa)              90-110
4.      Kurang pintar               70-90
5.      Bebal (debil)                 50-70
6.      Dungu (imbicil)            30-50
7.      Pusung (idiot)               di bawah 30[9]
Rohwer (1971) mengatakan bahwa skor tes tidak menunjukkan kemampuan belajar yang sesungguhnya, sebab tes itu disusun dengan asumsi bahwa anak-anak dalam usia yang sama mendapat kesempatan belajar yang sama. Jadi, guru yang menilai rendah kemampuan anak karena skor tesnya rendah, berarti guru itu telah menyalahtafsirkan arti skor tes.
C.  Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Intelektual (Inteligensi)
Bayley (1979) di dalam studinya menemukan beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan intelektual individu, yaitu:
1.      Keturunan
Studi korelasi nilai-nilai tes inteligensi diantara anak dan orang tua atau dengan kakek neneknya, menunjukkan adanya pengaruh faktor keturunan terhadap tingkat kemampuan mental seseorang sampai pada tingkat tertentu.[10] Potensi untuk perkembangan inteligensi diwariskan melalui orang tua. Prinsip ini diterima, baik oleh pihak yang menekankan pentingnya lingkungan maupun oleh pihak yang memperingatkan tentang berapa banyaknya IQ dapat ditingkatkan dengan lingkungan yang baik.[11]
Penelitian-penelitian pada tahun 1920-an menunjukkan bahwa meskipun orang tua-orang tua yang berada pada kelas professional hanya merupakan bagian kecil dari penduduk (5-10%), keturunan mereka meliputi sekitar 1/3 dari populasi anak cerdas. Hampir setengah dari mereka yang dewasa ini menjadi orang-orang terkemuka mempunyai ayah yang istimewa. Sebaliknya, orang tua-orang tua anak-anak yang belajarnya lambat memiliki inteligensi di bawah rata-rata. [12]
2.      Latar belakang sosial ekonomi
Pendapatan keluarga, pekerjaan orang tua dan faktor-faktor sosial ekonomi lainnya, berkorelasi positif dan cukup tinggi dengan taraf kecerdasan individu mulai usia 3 tahun sampai dengan remaja.[13]
3.      Lingkungan hidup
Bagaimana pengaruh lingkungan terhadap perkembangan inteligensi? Pengaruh belajar dalam arti lingkungan terhadap perkembangan inteligen cukup besar. Hasil penelitian telah menyimpulkan bahwa bagaimana peranan belajar terhadap perkembangan inteligensi.
Jika anak kembar satu telur diasuh bersama dalam lingkungan yang sama, IQ mereka akan lebih mirip sama dibandingkan dengan apabila mereka diasuh terpisah oleh lingkungan yang berbeda. Dalam kasus ini tidak terhadap hubungan genetik, tetapi hasilnya menunjukkan bahwa kesamaan IQ adalah karena kesamaan pengalaman belajar dan lingkungan yang sama. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Gerber dan Ware (170) telah disimpulkan bahwa semakin tinggi kualitas lingkungan rumah, cenderung semakin tinggi juga IQ anak. [14]
Lingkungan yang kurang baik akan menghasilkan kemampuan intelektual yang kurang baik pula. Lingkungan yang dinilai paling buruk bagi perkembangan inteligensi adalah panti-panti asuhan serta institusi lainnya, terutama bila anak ditempatkan disana sejak awal kehidupannya.[15]Penelitian terhadap anak-anak yang dipelihara (dibesarkan) dalam lingkungan kumuh di kota besar rata-rata IQ nya lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak seusia mereka dari masyarakat golongan menengah.[16]Selama hidup anak didik tidak bisa menghindarkan diri dari lingkungan alami dan lingkungan sosial budaya. Interaksi dari kedua lingkungan yang berbeda ini selalu terjadi dalam mengisi kehidupan anak didik. Keduanya mempunyai pengaruh cukup signifikan terhadap belajar anak didik di sekolah.[17]
4.      Kondisi fisik
Keadaan gizi yang kurang baik, kesehatan yang buruk dan perkembangan fisik yang lambat, menyebabkan tingkat kemampuan mental yang rendah.[18]Berdasarkan penelitian, ternyata orang-orang yang ber-IQ tinggi cenderung lebih sehat jasmaninya, dan pertumbuhannya lebih subur bila dibandingkan dengan orang-orang yang IQ-nya lebih rendah.  
Kelukaan otak pada pre-natal atau pada masa bayi dapat mengakibatkan gangguan inteligensi, tetapi apabila setelah dewasa luka itu sembuh, orang pun dapat memiliki inteligensi seperti yang lazim dimiliki orang normal.[19]
5.        Iklim emosi
Iklim emosi di mana individu dibesarkan mempengaruhi perkembangan mental individu yang bersangkutan.[20]Dalam hubungannya dengan masalah emosi ini, guru hendaknya melibatkan dirinya dalam mempelajari keadaan rumah dan masyarakat sekitar tempat tinggal anak-anak. Apabila anak diliputi perasaan khawatir karena masalah-masalah dalam keluarga, hal ini akan menghambat kegiatan belajarnya. Ia secara mental akan tampak lambat dan kurang dorongan untuk mengerjakan tugas-tugas yang sebenarnya ia mampu melakukannya. Menurut Beatty, bimbingan dalam pengenalan dan penanganan masalah emosi ini, apabila diintegrasikan ke dalam transaksi belajar mengajar, akan memperbaiki cara-cara anak menyesuaikan diri dan akan mendorong kemajuan dalam bidang akademis.[21]
D.    Peranan Orang Tua dalam Mengembangkan Taraf Intelegensi Anak
Yang menarik dalam permasalahan inteligensi ini adalah bagaimana peranan orang tua dalam mengembangkan taraf inteligensi anak, sehingga berdampak positif bagi keberhasilan belajar anak di sekolah kelak. Menurut Prabu (1986: 31) yang dikutip Syaiful Bahri Djamarah dalam bukunya menyebutkan, ada dua faktor yang sangat penting yang perlu diperhatikan oleh orang tua dalam mengembangkan taraf inteligensi anak, yaitu: Pertama, faktor sebelum kelahiran, (masa pra-natal) dan kedua, faktor setelah lahir (masa post-natal). Jarak antara pra-natal dan post-natal dibatasi dari 0-5 tahun, karena perkembangan taraf inteligensi pada masa anak berumur 0-5 tahun akan sangat berpengaruh dan menentukan terhadap perkembangan taraf inteligensi pada masa umur selanjutnya.[22] Apa yang ditabur pada janin atau anak pada masa ini dipandang akan sangat berpengaruh dalam membangun kecerdasan fisik dan mentalnya. Pada masa ini sebaiknya orang tua melakukan ‘rekayasa’ yang perlu untuk mengoptimalkan kecerdasan anak.
Dalam masa pra-natal, peranan orang tua, terutama ibu pada saat mengandung, sangatlah penting untuk memperhatikan faktor pengaturan makanan, menjaga kesehatan, dan ketenangan batin. Sedangkan dalam masa post-natal, fator-faktor yang sangat penting diperhatikan orang tua dalam membantu perkembangan taraf inteligensi setelah anak dilahirkan adalah menanamkan jiwa kasih sayang, menjaga kesehatan anak, dan mengembangkan kreativitas anak, yaitu kreativitas bermain, kreativitas membaca, dan kreativitas berpikir.[23]
Sebenarnya, hubungan antara orang tua dan anak, selain didasarkan atas cinta kasih, juga didasarkan atas proses belajar dan mengajar. Namun, yang terakhir ini acap dilupakan karena para orang tua umumnya mengira bahwa hal itu merupakan tugas guru di sekolah. Karena itu, selain harus memiliki sikap cinta kasih, orang tua juga seyogianya memiliki sikap sebagai guru, jika mereka memang ingin membantu anak balitanya mengembangkan inteligensinya seoptimal mungkin.
Bagaimana pun, kehidupan anak (balita) sangat bergantung pada orang tuanya, terlebih lagi pada masa-masa awal kehidupannya. Begitu juga perkembangan inteligensinya, bisa tidaknya kemungkinan inteligensi seorang anak ditingkatkan, sangat bergantung pada orang tuanya. Anak tidak akan mengalami sesuatu yang “baru”, kalau orang tua tidak mengaturnya, dia tidak akan pergi sama-sama jika orang tua tidak megajaknya. Dia tidak akan mempunyai barang-barang mainan, kalau orang tua tidak membelikannya atau menyediakannya. Karena itu, jelas bahwa seorang anak balita tidak mungkin mengaktualisasikan potensi intelektualnya seoptimal mungkin sendirian, tanpa didampingi oleh orang tuanya. Dia membutuhkan orang tua yang sensitive terhadap kebutuhan-kebutuhannya, mau mendengarkan secara responsive, memberikan perhatian bila ia mendapatkan kesulitan atau menemukan sesuatu yang menggairahkan, mau berbicara dan tidak banyak tuntutan atau larangan sejauh tidak membahayakan keselamatannya.[24]
Tiga unsur penting dalam keluarga yang amat berpengaruh terhadap perkembangan inteligensi anak yang ditemukan dalam penelitian Gerber dan Ware, yaitu:
a)      Jumlah buku, majalah, dan materi belajar lainnya yang terdapat dalam lingkungan keluarga.
b)      Jumlah ganjaran dan pengakuan yang diterima anak dari orang tua atas prestasi akademiknya.
c)      Harapan orang tua akan prestasi akademik anaknya.

E.     Peranan Pendidikan dalam Mengembangkan Inteligensi Anak
Faktor luar yang bersifat lebih efisien dan efektif pengaruhnya dalam pembentukan maupun perkembangan inteligensi ialah faktor pendidikan yang dilaksanakan di sekolah.
Memang sudah banyak penelitian yang menunjukkan, bahwa pendidikan dapat meningkatkan skor-skor inteligensi, namun apakah inteligensi itu sendiri memang meningkat ataukah tidak, hal ini masih menjadi pertanyaan.
Menurut para psikolog dari Universitas Lowa, inteligensi pada anak-anak yang masih muda mengalami peningkatan secara material apabila mereka sebelumnya telah memiiki pengalaman belajar yang menstimulir aktivitas-aktivitas berlatih seperti yang diberikan dalam pendidikan kanak-kanak. Terhadap penelitian ini, ada beberapa psikolog yang mengkritik dan beranggapan, bahwa penelitian ini mengandung kelemahan-kelemahan teknis, karena pemberian tes-tes inteligensi “before and after” bagi anak-anak tingkat pendidikan taman kanak-kanak dirasa kurang reliabel.
Sehubungan dengan penelitian para psikolog Lowa tersebut, Dr. Nancy Bayley dari Universitas California mengemukakan pendapat, bahwa IQ anak-anak yang masih terlalu muda mengalami perubahan “turun-naik” (tidak tetap). Ia berpendapat, bahwa kapasitas mental anak yang masih terlalu muda tidak berkembang dengan kecepatan yang sama dengan kecepatan perkembangan mental anak-anak sebaya lainnya, meskipun mereka mempunyai kekuatan-kekuatan intelektual sama. Ini berarti, bahwa dalam tahap perkembangan tertentu seorang anak dapat memiliki IQ di bawah rata-rata, sedangkan dalam tahap yang lain ia memiliki IQ di atas rata-rata. [25]
Sedemikian jauh belum terdapat bukti yang menguatkan bahwa latihan atau faktor lingkungan lainnya dapat menambah ataupun mengurangi skor IQ. Kenyataan menunjukkan, bahwa dalam lingkungan yang sama dengan latihan yang sama, dan seringkali dengan latar belakang keluarga yang sama pula, anak-anak dapat memiliki perbedaan dalam hal IQ.[26]
            Inteligensi berupa suatu pembawaan yang diwariskan sedangkan pertumbuhan dan perkembangannya dipengaruhi oleh lingkungan, sebagai sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan anak. Tugas pendidikan adalah menyediakan lingkungan yang kreatif sehingga mampu mengembangkan kapasitas inteligensi yang diwarisi tersebut.





Analisis
            Inteligensi sebagai potensial/bawaan maupun inteligensi yang telah dikembangkan yang dimiliki seorang  anak merupakan kemampuan bagi dirinya untuk tumbuh, berkembang, belajar, berbuat, bertindak, atau untuk memecahkan masalah serta  untuk melaksanakan tugas yang dihadapi. Kemampuan inteligensi anak tersebut akan mempengaruhi tempo dan kualitas penyelesaian masalah dan tugas yang dihadapinya.
Oleh karena itu, perbedaan inteligensi individu ini perlu diketahui dan pahami oleh seorang guru maupun calon guru. Karena setiap anak berpotensi untuk menjadi cerdas, dan kita sebagai tenaga pendidik dan pengajar harus memberikan kesempatan berkembangnya kemampuan bawaan peserta didik itu, sehingga membantu keberhasilan belajar dan kesuksesan hidup mereka.










DAFTAR PUSTAKA

Daryanto. Belajar dan Mengajar. 2010. Bandung: Yrama Widya.
Djamarah, Syaiful Bahri. 2011. Psikologi Belajar. Ed, rev., cet. 3. Jakarta: Rineka Cipta.
Hamalik, Oemar. 1992. Psikologi Belajar dan Mengajar. Bandung: Sinar Baru.
Hartono, Agung dan Sunarto. 2006. Perkembangan Peserta Didik. Cet. Ke-3. Jakarta: Rineka Cipta.
Sobur, Alex. 2011.  Psikologi Umum. Cet. Ke-4. Bandung: Pustaka Setia
Soemanto, Wasty. 1990. Psikologi Pendidikan. Cet. Ke-3. Jakarta: Rineka Cipta.


[1] Alex Sobur, Psikologi Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), Cet. Ke-4, hlm. 155-156
[2] Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar, (Bandung: Sinar Baru, 1992), hlm.88-89
[3] Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011), hlm. 136
[4] Daryanto, Belajar dan Mengajar, (Bandung: Yrama Widya, 2010), hlm. 100
[5] Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar, op.cit., hlm. 87
[6] Ibid., hlm. 88
[7] Alex Sobur, Psikologi Umum, op.cit, h. 162-163
[8] Sunarto dan Agung Hartono, Perkembangan Peserta Didik, (Jakarta, Rineka Cipta, 2006), Cet. Ke-3, h.101
[9] Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar, op.cit., hlm. 88
[10] Ibid., hlm. 102
[11] Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar,  op.cit., hlm. 90
[12] Ibid.
[13] Daryanto, Belajar dan Mengajar, op.cit., hlm. 102
[14] Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar, op.cit, hlm. 136-137
[15] Ibid.
[16] Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar, op.cit., hlm. 90
[17] Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar, op.cit., hlm. 177
[18] Daryanto, Belajar dan Mengajar,  op.cit., hlm. 102
[19] Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan, (Jakarta, Rineka Cipta, 1990), Cet. Ke-3, hlm. 147
[20] Ibid.
[21] Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar, op.cit., hlm. 95-96
[22] Ibid.
[23] Ibid.
[24] Alex Sobur, Psikologi Umum, op.cit, hlm. 175
[25] Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan, op.cit, h. 144
[26] Ibid., h.145

2 komentar: