BAB I
PENDAHULUAN
Belajar merupakan proses dari sesuatu yang belum bisa
menjadi bisa, dari perilaku lama ke perilaku baru, dari pemahaman lama ke
pemahaman baru. Faktor-faktor belajar adalah
peristiwa belajar yang terjadi pada diri pembelajar, yang dapat diamati dari
perbedaan perilaku sebelum dan sesudah berada
didalam proses belajar, sebab dalam makna belajar adalah adanya perubahan
perilaku seseorang kearah yang lebih baik dalam melaksanakan pembelajaran. Prestasi
belajar di sekolah sangat dipengaruhi oleh kemampuan umum kita yaitu
inteligensi. IQ yang tinggi meramalkan sukses terhadap prestasi belajar. Namun,
IQ hanya salah satu penentu keberhasilan belajar. Masih ada hal-hal lain yang
juga berperan dalam keberhasilan belajar seseorang. Sedangkan yang akan kami
bahas dalam paper kali ini hanya permasalahan yang berkaitan dengan inteligensi
anak.
Dalam rangka untuk mengetahui tinggi
rendahnya inteligensi seseorang, dikembangkan instrumen yang dikenal dengan
istilah “Tes Inteligensi”. Di samping itu dibahas juga beberapa faktor yang
mempengaruhi kemampuan intelektual individu diantaranya faktor keturunan, latar
belakang social ekonomi, lingkungan hidup, kondisi fisik, dan iklim emosi.
Selain itu, masalah peran orang tua dan
pendidikan dalam mengembangkan taraf inteligensi anak juga menjadi sesuatu yang menarik karena
inteligensi itu sendiri merupakan pembawaan dan lingkungan sebagai tempat yang
tidak bisa dipisahkan dari kehidupan anak.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Intelegensi
Apabila kita telusuri asal-usulnya, kata
“inteligensi” erat sekali hubungannya dengan kata “intelek”. Hal ini bisa
dimaklumi sebab keduanya berasal dari bahasa Latin yang sama, yaitu intellegere,
yang berarti memahami. Intellectus atau intelek adalah bentuk participium
intellegere; sedangkan intellegens atau inteligensi adalah bentuk participium
praesens (aktif) dari kata yang sama. Bentuk-bentuk kata ini memberikan
indikasi kepada kita bahwa intelek lebih bersifat pasif atau statis (being,
potensi), sedangkan inteligensi lebih bersifat aktif (becoming, aktualisasi).
Berdasarkan pemahaman ini, bisa disimpulkan bahwa intelek adalah daya atau
potensi untuk memahami, sedangkan inteligensi adalah aktivitas atau perilaku
yang merupakan perwujudan dari daya atau potensi tesebut.[1]
Beberapa
definisi intelegensi adalah sebagai berikut:
1.
Terman:
Inteligensi adalah kemampuan untuk melakukan berpikir abstrak. Dengan
memanipulasikan simbol-simbol, terutama kata-kata, orang yang inteligen mampu
berpikir tentang dan berhubungan dengan hal-hal dan ide-ide abstrak. Tindakan
yang inteligen meliputi pengarahan, penyesuaian, dan kritik terhadap diri
sendiri dalam adaptasi mental.
2.
Thorndike:
Inteligensi adalah kemampuan melakukan respons-respons yang baik dan
diperlihatkan dengan kecakapannya untuk berhubungan secara efektif dengan
situasi-situasi yang baru. Dengan adanya beragam-ragam situasi maka terdapat
pula keragaman pola-pola inteligensi seperti situasi yang abstrak, situasi
mekanis, dan situasi sosial.
3.
Wechsler:
Inteligensi adalah kecakapan global dari individu untuk bertindak secara
bertujuan, berpikir secara rasional, dan berhubungan dengan lingkungan secara
efektif.[2]
Dalam kehidupan sehari-hari, kita
seringkali mendengar orang berbicara mengenai inteligensi sebagai faktor yang
menentukan berhasil tidaknya siswa di sekolah.
Pernyataan diatas memang beralasan,
karena pada kasus-kasus tertentu sering ditemukan bahwa anak dengan inteligensi
yang rendah, di bawah rata-rata normal, cenderung mengalami kesukaran dalam
belajar. Karena cara berpikirnya lambat, anak pun mengalami kesukaran
beradaptasi dengan teman-teman sekelasnya. Rendahnya prestasi belajar yang anak
dapatkan tidak dapat dihindari. Oleh
karena itulah, anak dengan inteligensi yang rendah ditempatkan di kelas-kelas
khusus dengan pelayanan khusus pula.[3]
Pengetahuan mengenai tingkat kemampuan
intelektual atau inteligensi siswa akan membantu pengajar menentukan apakah
siswa mampu mengikuti pengajaran yang diberikan, serta meramalkan keberhasilan
atau gagalnya siswa yang bersangkutan bila telah mengikuti pengajaran yang
diberikan. Meskipun demikian, perlu diingat bahwa prestasi siswa tidak
semata-mata ditentukan oleh tingkat kemampuan intelektualnya. Faktor-faktor
lain seperti motivasi, sikap, kesehatan fisik dan mental, kepribadian,
ketekunan dan lain-lain perlu dipertimbangkan sebagai faktor-faktor lain yang
turut mempengaruhi prestasi. [4]
Inteligensi mudah diketahui dengan
melihat tingkah laku atau perbuatan seseorang dalam menghadapi persoalan.
Seseorang yang dapat mengatasi setiap persoalan dengan cepat dan efektif pada
situasi yang baru bisa dikatakan perbuatan inteligen. Kepraktisan inteligen
memang dilihat dari perbuatan nyata.[5]
Inteligensi sebagai kemampuan yang
bersifat bawaan, yang diwariskan dari pasangan suami-istri, akibat pertemuan
sperma dan ovum, tidak semua orang memilikinya dalam kapasitas yang sama.
Barangkali tidak bisa dipungkiri bahwa manusia memang mewarisi kapasitas untuk
menjadi inteligen; untuk orang tertentu kapasitas itu diwarisi dalam batas yang
tinggi, sedangkan orang yang lain mungkin dalam batas yang kurang tinggi.[6]
Perbedaan individual dalam bidang
inteligensi inilah yang perlu dipahami dan diketahui oleh para guru. Dengan
demikian dalam pengelolaan pengajaran, perbedaan intelegensi menjadi salah satu
pertimbangan dalam pengelolaan pendidikan dan pengajaran itu sendiri.
B. Tes
Inteligensi
Bagaimana
kita dapat mengetahui kecerdasan atau inteligensi? Dapatkah inteligensi itu
diukur? Bagaimana kita dapat menentukan cerdas tidaknya seseorang? Salah satu
cara ialah dengan menggunakan tes yang disebut “tes inteligensi”.
Tes
inteligensi adalah tes yang bertujuan mengukur inteligensi dan inteligensi
adalah apa yang diukur oleh tes inteligensi.
Pada
tahun 1933, seorang ahli psikologi berkebangsaan Inggris, Cyril Burt, menulis:
Melalui inteligensi, ahli psikologi bisa memahami kemampuan intelektual
keseluruhan yang dibawa sejak lahir. Kemampuan tersebut diwariskan, atau paling
tidak bawaan, tidak ada kaitannya dengan pengajaran atau pelatihan; kemampuan
itu intelektual, bukan emosional atau moral, dan tidak terpengaruh oleh
kerajinan atau semangat; kemampuan tersebut umum, tidak khusus, yaitu tidak
terbatas pada jenis pekerjaan tertentu, tetapi masuk ke dalam semua yang kita
lakukan, atau kita katakan, atau kita pikirkan. Dari semua kualitas mental
kita, inilah yang paling jauh jangkauannya. Untunglah kemampuan itu dapat
diukur dengan tepat dan mudah.[7]
Pengukuran
tingkat inteligensi dalam bentuk perbandingan diajukan oleh William Stern
(1871-1938), seorang ahli jiwa berkebangsaan Jerman, dengan sebutan
Intelligence Quotient yang disingkat IQ artinya perbandingan kecerdasan. Rumus
perhitungan yang diajukan adalah:[8]
IQ =
x 100

Berdasarkan
hasil bagi inteligensi, maka hasil bagi yang diperoleh dari pembagian umur
kecerdasan dengan umur sebenarnya, yang menunjukkan kesanggupan rata-rata
kecerdasan seseorang. Pembagian itu adalah:
1.
Luar
biasa (genius) IQ di atas 140
2.
Pintar
(begaaf) 110-140
3.
Normal
(biasa) 90-110
4.
Kurang
pintar 70-90
5.
Bebal
(debil) 50-70
6.
Dungu
(imbicil) 30-50
7.
Pusung
(idiot) di bawah 30[9]
Rohwer
(1971) mengatakan bahwa skor tes tidak menunjukkan kemampuan belajar yang
sesungguhnya, sebab tes itu disusun dengan asumsi bahwa anak-anak dalam usia
yang sama mendapat kesempatan belajar yang sama. Jadi, guru yang menilai rendah
kemampuan anak karena skor tesnya rendah, berarti guru itu telah
menyalahtafsirkan arti skor tes.
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Kemampuan Intelektual (Inteligensi)
Bayley (1979) di dalam studinya
menemukan beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan intelektual individu,
yaitu:
1.
Keturunan
Studi korelasi nilai-nilai tes
inteligensi diantara anak dan orang tua atau dengan kakek neneknya, menunjukkan
adanya pengaruh faktor keturunan terhadap tingkat kemampuan mental seseorang
sampai pada tingkat tertentu.[10]
Potensi untuk perkembangan inteligensi diwariskan melalui orang tua. Prinsip
ini diterima, baik oleh pihak yang menekankan pentingnya lingkungan maupun oleh
pihak yang memperingatkan tentang berapa banyaknya IQ dapat ditingkatkan dengan
lingkungan yang baik.[11]
Penelitian-penelitian pada tahun 1920-an
menunjukkan bahwa meskipun orang tua-orang tua yang berada pada kelas
professional hanya merupakan bagian kecil dari penduduk (5-10%), keturunan
mereka meliputi sekitar 1/3 dari populasi anak cerdas. Hampir setengah dari
mereka yang dewasa ini menjadi orang-orang terkemuka mempunyai ayah yang
istimewa. Sebaliknya, orang tua-orang tua anak-anak yang belajarnya lambat
memiliki inteligensi di bawah rata-rata. [12]
2.
Latar belakang sosial ekonomi
Pendapatan
keluarga, pekerjaan orang tua dan faktor-faktor sosial ekonomi lainnya,
berkorelasi positif dan cukup tinggi dengan taraf kecerdasan individu mulai
usia 3 tahun sampai dengan remaja.[13]
3.
Lingkungan hidup
Bagaimana
pengaruh lingkungan terhadap perkembangan inteligensi? Pengaruh belajar dalam
arti lingkungan terhadap perkembangan inteligen cukup besar. Hasil penelitian
telah menyimpulkan bahwa bagaimana peranan belajar terhadap perkembangan
inteligensi.
Jika
anak kembar satu telur diasuh bersama dalam lingkungan yang sama, IQ mereka
akan lebih mirip sama dibandingkan dengan apabila mereka diasuh terpisah oleh
lingkungan yang berbeda. Dalam kasus ini tidak terhadap hubungan genetik,
tetapi hasilnya menunjukkan bahwa kesamaan IQ adalah karena kesamaan pengalaman
belajar dan lingkungan yang sama. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Gerber dan Ware (170) telah disimpulkan bahwa semakin tinggi kualitas
lingkungan rumah, cenderung semakin tinggi juga IQ anak. [14]
Lingkungan yang kurang baik akan
menghasilkan kemampuan intelektual yang kurang baik pula. Lingkungan yang
dinilai paling buruk bagi perkembangan inteligensi adalah panti-panti asuhan
serta institusi lainnya, terutama bila anak ditempatkan disana sejak awal
kehidupannya.[15]Penelitian
terhadap anak-anak yang dipelihara (dibesarkan) dalam lingkungan kumuh di kota
besar rata-rata IQ nya lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak seusia mereka
dari masyarakat golongan menengah.[16]Selama
hidup anak didik tidak bisa menghindarkan diri dari lingkungan alami dan
lingkungan sosial budaya. Interaksi dari kedua lingkungan yang berbeda ini
selalu terjadi dalam mengisi kehidupan anak didik. Keduanya mempunyai pengaruh
cukup signifikan terhadap belajar anak didik di sekolah.[17]
4.
Kondisi fisik
Keadaan gizi yang kurang baik, kesehatan
yang buruk dan perkembangan fisik yang lambat, menyebabkan tingkat kemampuan
mental yang rendah.[18]Berdasarkan
penelitian, ternyata orang-orang yang ber-IQ tinggi cenderung lebih sehat
jasmaninya, dan pertumbuhannya lebih subur bila dibandingkan dengan orang-orang
yang IQ-nya lebih rendah.
Kelukaan otak pada pre-natal atau pada
masa bayi dapat mengakibatkan gangguan inteligensi, tetapi apabila setelah
dewasa luka itu sembuh, orang pun dapat memiliki inteligensi seperti yang lazim
dimiliki orang normal.[19]
5.
Iklim emosi
Iklim emosi di mana individu dibesarkan
mempengaruhi perkembangan mental individu yang bersangkutan.[20]Dalam
hubungannya dengan masalah emosi ini, guru hendaknya melibatkan dirinya dalam
mempelajari keadaan rumah dan masyarakat sekitar tempat tinggal anak-anak.
Apabila anak diliputi perasaan khawatir karena masalah-masalah dalam keluarga,
hal ini akan menghambat kegiatan belajarnya. Ia secara mental akan tampak
lambat dan kurang dorongan untuk mengerjakan tugas-tugas yang sebenarnya ia
mampu melakukannya. Menurut Beatty, bimbingan dalam pengenalan dan penanganan
masalah emosi ini, apabila diintegrasikan ke dalam transaksi belajar mengajar,
akan memperbaiki cara-cara anak menyesuaikan diri dan akan mendorong kemajuan
dalam bidang akademis.[21]
D.
Peranan
Orang Tua dalam Mengembangkan Taraf Intelegensi Anak
Yang menarik dalam permasalahan inteligensi ini adalah bagaimana
peranan orang tua dalam mengembangkan taraf inteligensi anak, sehingga
berdampak positif bagi keberhasilan belajar anak di sekolah kelak. Menurut
Prabu (1986: 31) yang dikutip Syaiful Bahri Djamarah dalam bukunya menyebutkan,
ada dua faktor yang sangat penting yang perlu diperhatikan oleh orang tua dalam
mengembangkan taraf inteligensi anak, yaitu: Pertama, faktor sebelum
kelahiran, (masa pra-natal) dan kedua, faktor setelah lahir (masa
post-natal). Jarak antara pra-natal dan post-natal dibatasi dari 0-5 tahun,
karena perkembangan taraf inteligensi pada masa anak berumur 0-5 tahun akan
sangat berpengaruh dan menentukan terhadap perkembangan taraf inteligensi pada
masa umur selanjutnya.[22]
Apa yang ditabur pada janin atau anak pada masa ini dipandang akan sangat
berpengaruh dalam membangun kecerdasan fisik dan mentalnya. Pada masa ini
sebaiknya orang tua melakukan ‘rekayasa’ yang perlu untuk mengoptimalkan
kecerdasan anak.
Dalam
masa pra-natal, peranan orang tua, terutama ibu pada saat mengandung, sangatlah
penting untuk memperhatikan faktor pengaturan makanan, menjaga kesehatan, dan
ketenangan batin. Sedangkan dalam masa post-natal, fator-faktor yang sangat
penting diperhatikan orang tua dalam membantu perkembangan taraf inteligensi
setelah anak dilahirkan adalah menanamkan jiwa kasih sayang, menjaga kesehatan
anak, dan mengembangkan kreativitas anak, yaitu kreativitas bermain,
kreativitas membaca, dan kreativitas berpikir.[23]
Sebenarnya,
hubungan antara orang tua dan anak, selain didasarkan atas cinta kasih, juga
didasarkan atas proses belajar dan mengajar. Namun, yang terakhir ini acap
dilupakan karena para orang tua umumnya mengira bahwa hal itu merupakan tugas
guru di sekolah. Karena itu, selain harus memiliki sikap cinta kasih, orang tua
juga seyogianya memiliki sikap sebagai guru, jika mereka memang ingin membantu
anak balitanya mengembangkan inteligensinya seoptimal mungkin.
Bagaimana
pun, kehidupan anak (balita) sangat bergantung pada orang tuanya, terlebih lagi
pada masa-masa awal kehidupannya. Begitu juga perkembangan inteligensinya, bisa
tidaknya kemungkinan inteligensi seorang anak ditingkatkan, sangat bergantung
pada orang tuanya. Anak tidak akan mengalami sesuatu yang “baru”, kalau orang
tua tidak mengaturnya, dia tidak akan pergi sama-sama jika orang tua tidak
megajaknya. Dia tidak akan mempunyai barang-barang mainan, kalau orang tua
tidak membelikannya atau menyediakannya. Karena itu, jelas bahwa seorang anak
balita tidak mungkin mengaktualisasikan potensi intelektualnya seoptimal
mungkin sendirian, tanpa didampingi oleh orang tuanya. Dia membutuhkan orang
tua yang sensitive terhadap kebutuhan-kebutuhannya, mau mendengarkan secara
responsive, memberikan perhatian bila ia mendapatkan kesulitan atau menemukan
sesuatu yang menggairahkan, mau berbicara dan tidak banyak tuntutan atau
larangan sejauh tidak membahayakan keselamatannya.[24]
Tiga
unsur penting dalam keluarga yang amat berpengaruh terhadap perkembangan
inteligensi anak yang ditemukan dalam penelitian Gerber dan Ware, yaitu:
a)
Jumlah
buku, majalah, dan materi belajar lainnya yang terdapat dalam lingkungan
keluarga.
b)
Jumlah
ganjaran dan pengakuan yang diterima anak dari orang tua atas prestasi
akademiknya.
c)
Harapan
orang tua akan prestasi akademik anaknya.
E. Peranan
Pendidikan dalam Mengembangkan Inteligensi Anak
Faktor luar yang bersifat lebih efisien
dan efektif pengaruhnya dalam pembentukan maupun perkembangan inteligensi ialah
faktor pendidikan yang dilaksanakan di sekolah.
Memang
sudah banyak penelitian yang menunjukkan, bahwa pendidikan dapat meningkatkan
skor-skor inteligensi, namun apakah inteligensi itu sendiri memang meningkat
ataukah tidak, hal ini masih menjadi pertanyaan.
Menurut
para psikolog dari Universitas Lowa, inteligensi pada anak-anak yang masih muda
mengalami peningkatan secara material apabila mereka sebelumnya telah memiiki
pengalaman belajar yang menstimulir aktivitas-aktivitas berlatih seperti yang
diberikan dalam pendidikan kanak-kanak. Terhadap penelitian ini, ada beberapa
psikolog yang mengkritik dan beranggapan, bahwa penelitian ini mengandung
kelemahan-kelemahan teknis, karena pemberian tes-tes inteligensi “before and
after” bagi anak-anak tingkat pendidikan taman kanak-kanak dirasa kurang
reliabel.
Sehubungan
dengan penelitian para psikolog Lowa tersebut, Dr. Nancy Bayley dari Universitas
California mengemukakan pendapat, bahwa IQ anak-anak yang masih terlalu muda
mengalami perubahan “turun-naik” (tidak tetap). Ia berpendapat, bahwa kapasitas
mental anak yang masih terlalu muda tidak berkembang dengan kecepatan yang sama
dengan kecepatan perkembangan mental anak-anak sebaya lainnya, meskipun mereka
mempunyai kekuatan-kekuatan intelektual sama. Ini berarti, bahwa dalam tahap
perkembangan tertentu seorang anak dapat memiliki IQ di bawah rata-rata,
sedangkan dalam tahap yang lain ia memiliki IQ di atas rata-rata. [25]
Sedemikian
jauh belum terdapat bukti yang menguatkan bahwa latihan atau faktor lingkungan
lainnya dapat menambah ataupun mengurangi skor IQ. Kenyataan menunjukkan, bahwa
dalam lingkungan yang sama dengan latihan yang sama, dan seringkali dengan
latar belakang keluarga yang sama pula, anak-anak dapat memiliki perbedaan
dalam hal IQ.[26]
Inteligensi
berupa suatu pembawaan yang diwariskan sedangkan pertumbuhan dan
perkembangannya dipengaruhi oleh lingkungan, sebagai sesuatu yang tidak bisa
dipisahkan dari kehidupan anak. Tugas pendidikan adalah menyediakan lingkungan
yang kreatif sehingga mampu mengembangkan kapasitas inteligensi yang diwarisi
tersebut.
Analisis
Inteligensi sebagai potensial/bawaan
maupun inteligensi yang telah dikembangkan yang dimiliki seorang anak merupakan kemampuan bagi dirinya untuk
tumbuh, berkembang, belajar, berbuat, bertindak, atau untuk memecahkan masalah
serta untuk melaksanakan tugas yang
dihadapi. Kemampuan inteligensi anak tersebut akan mempengaruhi tempo dan
kualitas penyelesaian masalah dan tugas yang dihadapinya.
Oleh
karena itu, perbedaan inteligensi individu ini perlu diketahui dan pahami oleh
seorang guru maupun calon guru. Karena setiap anak berpotensi untuk menjadi
cerdas, dan kita sebagai tenaga pendidik dan pengajar harus memberikan
kesempatan berkembangnya kemampuan bawaan peserta didik itu, sehingga membantu
keberhasilan belajar dan kesuksesan hidup mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Daryanto. Belajar dan Mengajar. 2010. Bandung: Yrama Widya.
Djamarah,
Syaiful Bahri. 2011. Psikologi Belajar.
Ed, rev., cet. 3. Jakarta: Rineka Cipta.
Hamalik,
Oemar. 1992. Psikologi Belajar dan
Mengajar. Bandung: Sinar Baru.
Hartono,
Agung dan Sunarto. 2006. Perkembangan
Peserta Didik. Cet. Ke-3. Jakarta: Rineka Cipta.
Sobur, Alex. 2011. Psikologi Umum. Cet. Ke-4. Bandung:
Pustaka Setia
Soemanto, Wasty. 1990. Psikologi Pendidikan.
Cet. Ke-3. Jakarta: Rineka Cipta.
[1] Alex Sobur, Psikologi Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 2011),
Cet. Ke-4, hlm. 155-156
[2] Oemar Hamalik, Psikologi
Belajar dan Mengajar, (Bandung: Sinar Baru, 1992), hlm.88-89
[3] Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi
Belajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011), hlm. 136
[4] Daryanto, Belajar dan Mengajar,
(Bandung: Yrama Widya, 2010), hlm. 100
[5] Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi
Belajar, op.cit., hlm. 87
[6] Ibid., hlm. 88
[7] Alex Sobur, Psikologi Umum, op.cit, h. 162-163
[8] Sunarto dan Agung Hartono, Perkembangan
Peserta Didik, (Jakarta, Rineka Cipta, 2006), Cet. Ke-3, h.101
[9] Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi
Belajar, op.cit., hlm. 88
[10] Ibid., hlm. 102
[11] Oemar Hamalik, Psikologi
Belajar dan Mengajar, op.cit., hlm. 90
[12] Ibid.
[13] Daryanto, Belajar dan
Mengajar, op.cit., hlm. 102
[14] Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi
Belajar, op.cit, hlm. 136-137
[15] Ibid.
[16] Oemar Hamalik, Psikologi
Belajar dan Mengajar, op.cit.,
hlm. 90
[17] Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi
Belajar, op.cit., hlm. 177
[18] Daryanto, Belajar dan
Mengajar, op.cit., hlm. 102
[19] Wasty Soemanto, Psikologi
Pendidikan, (Jakarta, Rineka Cipta, 1990), Cet. Ke-3, hlm. 147
[20] Ibid.
[21] Oemar Hamalik, Psikologi
Belajar dan Mengajar, op.cit., hlm. 95-96
[22] Ibid.
[23] Ibid.
[24] Alex Sobur, Psikologi Umum, op.cit, hlm. 175
[25] Wasty Soemanto, Psikologi
Pendidikan, op.cit, h. 144
[26] Ibid., h.145
learn this here now cheap jerseys,wholesale jerseys from china,Cheap Jerseys china,cheap nfl jerseys,Cheap Jerseys china,Cheap Jerseys free shipping,Cheap Jerseys china,wholesale nfl jerseys from china,Cheap Jerseys free shipping,cheap nfl jerseys image source
BalasHapusan685 wholesale jerseys,nfl shop,nfl shop,jordans 11,wholesale nfl jerseys,nfl jerseys,cheap jerseys,Cheap Jerseys free shipping,wholesale jerseys ya082
BalasHapus