Sabtu, 20 September 2014

Masa Tiga Kerajaan Besar Islam

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Seperti halnya dengan sejarah setiap umat, sejarah Islam dapat dibagi ke dalam periode klasik, periode pertengahan dan periode modern. Pada periode tertentu Islam mengalami pertumbuhan dan perkembangan, pada periode berikutnya Islam mengalami kemunduran bahkan kehancuran. Dalam pembahasan kali ini akan dibahas sejarah Islam pada periode pertengahan, yaitu pada masa tiga kerajaan besar.
 Setelah runtuhnya pemerintahan klilafah Abbasiyah di Baghdad akibat serangan tentara Mongol, kekuatan politik Islam mengalami kemunduran secara drastis. Keadaan politik umat Islam baru mengalami kemajuan kembali setelah muncul dan berkembangnya tiga kerajaan besar yaitu Kerajaan Usmani di Turki, Kerajaan Mughal di India, dan Kerajaan Safawi di Persia. Selanjutnya pada bab II akan dibahas lebih lanjut mengenai proses berdiri dan kemajuan yang berhasil dicapai Islam masa tiga kerajaan besar.
B.  Rumusan Masalah
1.    Bagaimana sejarah pertumbuhan tiga kerajaan besar ?
2.    Bagaimana kemajuan dan perkembangan tiga kerajaan besar ?
3.    Bagaimana perbedaan kemajuan masa ini dengan masa klasik ?
C.  Tujuan
1.    Untuk mengetahui sejarah masing-masing kerajaan (Usmani, Mughal dan Safawi).
2.    Untuk mengetahui kemajuan dan perkembangan masing-masing kerajaan.
3.    Untuk memenuhi tugas mandiri mata kuliah Sejarah Peradaban Islam.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kerajaan Usmani Di Turki
Pendiri kerajaan ini adalah bangsa Turki dari kabilah Oghuz yang mendiami daerah Mongol dan daerah utara negeri Cina. Dalam jangka waktu kira-kira tiga abad, mereka pindah ke Turkistan kemudian Persia dan Irak. Mereka masuk Islam sekitar abad kesembilan atau kesepuluh, ketika mereka menetap di Asia Tengah. Dibawah tekanan serangan-serangan Mongol pada abad ke-13 M, mereka melarikan diri ke daerah barat dan mencari tempat pengungsiaan di tengah-tengah saudara-saudara mereka, orang-orang Turki Seljuk, di dataran tinggi Asia Kecil. Di sana, di bawah pimpinan Ertoghrul, mereka mengabdikan diri kepada Sultan Alauddin II, Sultan Seljuk yang kebetulan sedang berperang melawan Bizantium. Berkat bantuan mereka, Sultan Alauddin mendapat kemenangan. Atas jasa baik itu, Alauddin menghadiahkan sebidang tanah di Asia Kecil yang berbatasan dengan Bizantium. Sejak itu, mereka terus membina wilayah barunya dan memilih kota Syukud sebagai ibukota[1]
Nama kerajaan Turki Utsmani diambil dan dibangsakan kepada nenek moyang mereka yang pertama, Sultan Ustmani Ibnu Sauji Ibnu Orthogol Ibnu Sulaiman Syah Ibnu Kia Alp, kepala kabilah Kab di Asia Tengah. Turki Utsmani berkuasa sejak abad ke-13 sampai abad ke-19. Raja pertama Turki Utsmani adalah Utsman dengan gelar Padisya Alu Utsman atau Raja dari keluarga Utsman.[2]
Setelah Ertoghrul meninggal dunia tahun 1289., kepemimpinan dilanjutkan oleh putranya, Utsman. Putra Ertoghrul inilah yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Utsmani. Ustman memerintah antara tahun 1290 M dan 1326 M. Sebagaimana ayahnya, ia banyak berjasa kepada Sultan Alauddin II dengan keberhasilannya menduduki benteng-benteng Bizantium yang berdekatan dengan kota Broessa. Pada tahun 1300 M, bangsa Mongol menyerang kerajaan Seljuk dan Sultan Alauddin terbunuh. Kerajaan Seljuk Rum ini kemudian terpecah-pecah dalam beberapa kerajaan kecil. Utsman pun menyatakan kemerdekaan dan kekuasaan penuh atas daerah yang didudukinya. Sejak itulah, kerajaan Utsmani dinyatakan berdiri. Penguasa pertamanya adalah Utsman yang sering disebut juga Utsman I.[3]
Setelah kekuasaan Utsman I berakhir, pemerintahan dilanjutkan oleh Orkhan. Pada masa pemerintahan Orkhan (726 H/1326 M-761 H/1359 M) Kerajaan Turki Usmani ini dapat menaklukkan Azmir (Smirna) tahun 1327 M, Thawasyanli (1330 M), Uskandar (1338 M), Ankara (1354 M), dan gallipoli (1256 M). Daerah ini adalah bagian benua Eropa yang pertama kali diduduki kerajaan Usmani.[4]
Penggantinya, yaitu puteranya yang bernama Murad I berhasil menaklukkan banyak daerah, seperti Adrianopol, Masedonia, Bulgaria, Serbia, dan Asia Kecil. Namun, yang paling monumental adalah penaklukkan di Kosovo (1389 M).[5]
Merasa cemas terhadap kemajuan ekspansi kerajaan ini ke Eropa, Paus mengobarkan semangat perang. Sejumlah besar pasukan sekutu Eropa disiapkan untuk memukul mundur Turki Usmani. Pasukan ini dipimpin oleh Sijisman, raja Hongaria. Namun, Sultan Bayazid I (1389-1403 M), pengganti Murad I, dapat menghancurkan pasukan sekutu Kristen Eropa tersebut. Peristiwa ini merupakan catatan sejarah yang amat gemilang bagi umat Islam.[6]
Bayazid dengan cepat menaklukkan daerah dan memperluas di Eropa. Bayazid sempat mengepung Konstantinopel selama enam bulan, namun akhirnya gagal karena menghadapi tentaranya Timur Lang dan meninggal dunia di penjara Timur setelah kalah perang dan tertangkap dalam perang di Anggora. Sepeninggal bayazid, Turki Usmani mulai mengalami kemunduran. Selanjutnya Turki Usmani dipimpin oleh Muhammad. Akhirnya ia berhasil mengembalikan Turki Usmani seperti sediakala. Meskipun ia tidak melakukan perluasan wilayah dan penaklukkan, Muhammad berhasil membawa Turki Usmani stabil kembali. Dengan keberhasilan ini, ia disejajarkan oleh sejarawan dengan Umar II dari Dinasti Umayah. Setelah ia meninggal digantikan dengan Murad II. Ia mengembalikan citra Murad I, yaitu dengan merebut kembali daerah-daerah di Eropa (Kosovo) yang lepas setelah meninggalnya Bayazid.[7]
Penggantinya Murad II adalah Muhammad II, dalam sejarah terkenal dengan Muhammad al-Fatih. Ia berhasil menaklukkan kota Konstantinopel pertama kali yang telah dicita-citakan sejak Khalifah Usman ibn Affan, Gubernur Muawiyah yang pertama kali menyerang Konstantinopel dan khalifah-khalifah selanjutnya yang berabad-abad mencita-citakan penaklukkan Konstantinopel, akhirnya tercapai pada 29 Mei 1453 M. Pada saat itulah awal kehancuran Bizantium yang telah berkuasa sebelum masa Nabi.[8]
Ekspansi ke arah Barat dengan demikian berjalan lebih lancar. Tetapi di zaman Sultan Salim I (1512-1520 M) perhatian ke arah Barat dialihkan ke Timur. Persia mulai diserang dan dalam peperangan Syah Ismail dikalahkan dan dipukul mundur. Setelah menguasai Suria, Sultan Salim merebut Mesir dari tangan Dinasti Mamluk. Kairo jatuh di tahun 1517 M. Kemajuan-kemajuan lain dibuat oleh Sultan Sulaiman Al-Qanuni (1520-1566 M). Sultan Sulaiman adalah Sultan Usmani yang terbesar. Di zamannya Irak, Belgrado, Pulau Rhodes, Tunis, Budapest dan Yaman dapat dikuasai. Winen ia kepung di tahun 1529 M. Di masa kerajaannya daerah kekuasaan Kerajaan Usmani mencakup Asia Kecil, Mesir, Libia, Tunis serta Aljazair di Afrika dan Bulgaria, Yunani, Yugoslavia, Albania, Hongaria dan Rumania di Eropa.[9]
Dengan demikian diketahuilah bahwa kerajaan ini berdiri setelah Dinasti Turki Seljuk mengalami kehancuran ketika mendapat serangan dari tentara Mongol. Pada masa kejayaannya yaitu pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman wilayah kekuasaan kerajaan Usmani sudah mencakup sebagian besar Asia dan Eropa. Kerajaan ini berdiri paling lama dibandingkan dua dari tiga kerajaan besar.
Kemajuan dan perkembangan ekspansi kerajaan Usmani yang demikian luas dan berlangsung dengan cepat itu diikuti pula oleh kemajuan-kemajuan dalam bidang-bidang kehidupan yang lain. Yang terpenting di antaranya adalah sebagai berikut.
1.      Bidang Kemiliteran dan Pemerintahan
Pembaruan dalam tubuh organisasi militer oleh Orkhan, tidak hanya dalam bentuk mutasi personel-personel pimpinan, tetapi juga diadakan perombakan dalam keanggotaan. Bangsa-bangsa non-Turki dimasukkan sebagai anggota, bahkan anak-anak Kristen masih kecil diasramakan dan dibimbing dalam suasana Islam untuk dijadikan prajurit. Program ini ternyata berhasil dengan terbentuknya kelompok militer baru yang disebut pasukan Jenissari dan Inkisyariah.[10]
Dalam struktur pemerintahan, sultan sebagai penguasa tertinggi, dibantu oleh shadr al-a’zham (perdana menteri), yang membawahi pasya (gubernur). Gubernur mengepalai daerah tingkat I. Di bawahnya terdapat beberapa orang al-zanaziq atau al-‘alawiyah (bupati). Untuk mengatur urusan pemerintahan negara, di masa Sultan Sulaiman I, disusun sebuah kitab undang-undang (qanun), kitab tersebut diberi nama Multaqa al-Abhur, yang menjadi pegangan hukum bagi kerajaan Turki Usmani sampai datangnya reformasi pada abad ke-19.[11]
2.      Bidang Ilmu Pengetahuan dan Budaya
Sebagai bangsa yang berdarah militer, Turki Usmani lebih banyak memfokuskan kegiatan mereka dalam bidang kemiliteran, sementara dalam bidang ilmu pengetahuan, mereka kelihatan tidak terlalu menonjol. Karena itulah, di dalam khazanah intelektual Islam kita tidak menemukan ilmuan terkemuka dari Turki Usmani. Namun demikian, mereka banyak berkiprah dalam pengembangan seni arsitektur Islam berupa bangunan-bangunan masjid yang indah, sepperti Masjid Al-Muhammadi atau Masjid Jami’ Sultan Muhammad Al-Fatih, Masjid Agung Sulaiman, dan Masjid Abi Ayyub An-Anshari. Salah satu masjid yang terkenal dengan keindahan kaligrafinya adalah masjid yang asalnya gereja Aya Sopia.[12]
3.      Bidang Keagamaan
Mufti, sebagai pejabat urusan agama tertinggi, berwenang memberi fatwa resmi terhadap problema keagamaan yang dihadapi masyarakat. Tanpa legitimasi Mufti, keputusan hukum kerajaan bisa tidak berjalan. Pada masa Turki Usmani tarekat yang paling berkembang ialah tarekat Bekhtasyi dan tarekat Maulawi. Sisi lain pada masa ini, kajian tentang ilmu keagamaan, seperti fiqh, ilmu kalam, tafsir, dan hadits tidak mengalami perkembangan yang berarti. Para penguasanya cenderung menegakkan pada satu mazhab seperti Sultan Abd Al-Hamid II yang begitu fanatik terhadap aliran Asy’ariyah dengan mempertahankannya dari kritikan-kritikan aliran yang lain.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kerajaan Turki Utsmani dalam masa kekuasaannya lebih banyak mengurus kegiatan politik negara sehingga kegiatan yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan kurang berkembang.  Seluruh pasukan militer dididik dan dilatih dalam asrama militer dengan pembekalan semangat perjuangan Islam.  Kekuatan militer ini berhasil mengubah kerajaan usmani yang baru lahir menjadi mesin perang yang paling kuat serta memberikan dorongan besar  penaklukkan negeri-negeri non-muslim di Asia dan Eropa.
B.     Kerajaan Safawi Di Persia
Ketika kerajaan Usmani mencapai puncak kemajuannya, kerajaan Safawi di Persia baru berdiri. Kerajaan ini berkembang dengan cepat. Dalam perkembangannya, kerajaan Safawi sering bentrok dengan Turki Usmani. Adapun kerajaan Safawi merupakan Kerajaan Besar Kedua di Dunia Islam pada periode pertengahan. Kerajaan Safawi ini berasal dari seorang sufi Syekh Ishak Safiuddin (1252-1334 M) dari Ardabil di Azarbaijan. Syekh Safiuddin beraliran Syi’ah dan mempunyai pengaruh besar di daerah itu.[13]
Kerajaan Safawi berkuasa selama 2 abad. Pendirinya adalah Ismail yang dinisbahkan pada tarekat safawiyah yang didirikan oleh Syekh Safiuddin. Ismail menjadikan aliran Syi’ah sebagai mazhab yang dianut negara. Lama kelamaan pengikut tarekat Safawiyah berubah menjadi tentara yang teratur, fanatik dalam hal kepercayaan dan menentang setiap orang yang tidak bermazhab Syi’ah. Kecenderungan ini diapresiasi oleh Juneid (1447-1460 M). Ismail wafat pada tahun 1524 dengan wilayah kekuasaan yang berhasil ditaklukkannya meliputi daerah Utara Tranxosiana sampai Teluk Persia di wilayah Selatan, Afganistan di bagian timur hingga bagian barat Sungai Efrat. Ismail digantikan oleh putranya Shah Thamasp ysng ketika diangkat menjadi raja berumur sepuluh tahun. Pada 1554 M, ia mengadakan perjanjian damai dengan Sulaiman Agung dari Turki Utsmani dengan hasil perjanjian seluruh Persia dikuasai kecuali Diar-e-Bakr dan Kurdistan.
 Pada zaman pemerintahan Tahmasp I (1524-1576 M), Ismail II (1576-1577 M), dan Muhammad Khudabanda (1577-1587 M), kerajaan Safawi dalam keadaan lemah secara eksternal karena sering terjadi peperangan dengan kerajaan Utsmani yang lebih kuat juga mengalami pertentangan internal antara kelompok-kelompok di dalam negeri sendiri.
Kondisi memprihatinkan tersebut baru bisa diatasi setelah raja Safawi kelima, Abbas I, naik tahta. Ia memerintah dari tahun 1588 sampai dengan 1628 M. Langkah-langkah yang ditempuh oleh Abbas I dalam rangka memulihkan kerajaan Safawi ialah: Pertama, berusaha menghilangkan dominasi pasukan  Qizilbash atas Kerajaan Safawi dengan cara membentuk pasukan baru yang anggotanya terdiri dari budak-budak, berasal dari tawanan perang bangsa Georgia, Armenia, dan Sircassia yang telah ada sejak raja Tahmasp I. Kedua, mengadakan perjanjian damai, dengan Turki Utsmani Untuk mewujudkan perjanjian ini, Abbas I terpaksa harus menyerahkan wilayah Azerbaijan, Georgia, dan sebagian wilayah Luristan.[14]
Masa kekuasaan Abbas I merupakan puncak kejayaan Kerajaan Safawi. Secara politik, ia mampu mengatasi berbagai kemelut di dalam negeri yang mengganggu stabilitas negara dan berhasil merebut kembali wilayah-wilayah yang pernah direbut oleh kerajaan lain pada masa raja-raja sebelumnya.[15]
Kemajuan yang dicapai kerajaan Safawi tidak hanya terbatas di bidang politik. Di bidang yang lain, kerajaan ini juga mengalami banyak kemajuan, diantaranya:
1.      Bidang Ekonomi
Carl Borckelmann yang dikutip Badri Yatim menyebutkan stabilitas politik Kerajaan Safawi pada masa Abbas I ternyata telah memacu perkembangan perekonomian Safawi, lebih-lebih setelah kepulauan Hurmuz dikuasai dan pelabuhan Gumrun diubah menjadi Bandar Abbas. Dengan dikuasainya bandar ini maka salah satu jalur dagang laut antara Timur dan Barat yang biasa diperebutkan oleh Belanda, Inggris, dan Perancis sepenuhnya menjadi milik kerajaan Safawi.
Di samping sektor perdagangan, kerajaan Safawi juga mengalami kemunduran di sektor pertanian terutama di daerah Bulan Sabit Subur (Fortile Crescent).[16]
2.      Bidang Ilmu Pengetahuan
Dalam sejarah Islam, bangsa Persia dikenal sebagai bangsa yang berperadaban tinggi dan berjasa dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila pada masa kerajaan Safawi, khususnya ketika Abbas I berkuasa, tradisi keilmuan terus berkembang.
Berkembangnya imu pengetahuan masa kerajaan Safawi tidak lepas dari suatu doktrin mendasar bahwa kaum Syi’ah tidak boleh taqlid dan pintu ijtihad selamanya terbuka.[17]
Ada beberapa ilmuan yang selalu hadir di majlis istana, yaitu Baha Al-Din Al-Syaerazi, generalis ilmu pengetahuan, Sadar Damad, filosof, ahli sejarah, teolog, dan seorang yang penah mengadakan observasi mengenai kehidupan lebah-lebah. Dalam bidang ini, kerajaan Safawi mungkin dapat dikatakan lebih berhasil dari dua kerajaan besar Islam lainnya pada masa yang sama.
3.      Bidang Pembangunan Fisik dan Seni
Marshal G. S. Hodgson yang dikutip Badri Yatim menuliskan para penguasa kerajaan ini telah berhasil menciptakan Isfahan, ibukota kerajaan, menjadi kota yang sangat indah. Di kota tersebut, berdiri bangunan-bangunan besar lagi indah seperti masjid-masjid, rumah-rumah sakit, sekolah-sekolah, jembatan raksasa di atas Zende Rud, dan istana Chihil Sutun. Kota Isfahan juga diperindah dengan taman-taman wisata yang ditata secara apik. Ketika Abbas I wafat, di Isfahan terdapat 162 mesjid, 48 akademi, 1802 penginapan, dan 273 pemandian umum.
Di bidang seni, kemajuan nampak begitu kentara dalam gaya arsitektur bangunan-bangunannya, seperti terlihat pada mesjid Shah yang dibangun tahun 1661 M dan mesjid Syaikh Luth Allah yang dibangun tahun 1603 M.[18]
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa satu hal yang menjadi perhatian dari kerajaan Safawi yaitu kerajaan tersebut beraliran syiah dan dijadikannya sebagai dasar keyakinan negara yang lambat laun para pengikut aliran tersebut berubah menjadi tentara yang fanatik dan menentang setiap orang yang tidak bermazhab syiah. Di samping itu masa kekuasaan yang cukup lama membuat kerajaan Safawi menambah perkembangan Islam. Di antaranya memperkenalkan peradaban dan kebudayaan Islam baik dengan seni, ilmu pengetahuan dan pembangunan fisik lainnya. Ilmu pengetahuan lebih berkembang pada masa kerajaan ini di bandingkan dengan kerajaan Turki Usmani karena ajaran dari Syi’ah yang tidak mengenal taklid sehingga mereka terus berijtihad meskipun ijtihad yang dilakukan hanya dalam salah satu mazhab saja.
C.    Kerajaan Mughal Di India
Syed Mahmudunnasir yang dikutip Badri Yatim menuliskan kerajaan Mughal berdiri seperempat abad sesudah berdirinya kerajaan Safawi. Jadi, di antara tiga kerajaan besar Islam tersebut, kerajaan inilah yang termuda. Kerajaan Mughal bukanlah kerajaan Islam petama di anak benua India. Awal kekuasaan Islam di wilayah India terjadi pada masa Khalifah Al-Walid, dari dinasti Bani Umayyah. Penaklukan wilayah ini dilakukan oleh tentara Bani Umayyah di bawah pimpinan Muhammad ibn Qasim.[19]
Kerajaan Mughal di India dengan Delhi sebagai ibu kota, didirian oleh Zahiruddin Babur (1482-1530 M), salah satu dari cucu-cucu Timur Lenk. Setelah menundukkan Kabul, ia melalui Khybar Pass, menyeberang ke India di tahun 1505 M. Lohare jatuh ke bawah kekuasaannnya di tahun 1523 M.[20]
Pada 1525 M, Babur meneruskan perjalanan menuju Punjab, dan dalam petempuran tersebut, Punjab pun dapat ditaklukkannya. Kesempatan baik bagi Babur untuk mengadakan serangan ke Delhi, di mana pada waktu itu Sultan Ibrahim Lodi sedang berselisih dengan pamannya, Alam. Pada 21 April 1526 M, terjadilah peperangan yang dahsyat di Panipat, Sultan Ibrahim dengan gigih mempertahankan negeri bersama 100.000 orang tentara dan 1000 kendaraan gajah. Namun, Babur mampu memenangkan pertempuran karena ia menggunakan senjata api berupa meriam, dan akhirnya Sultan Ibrahim Lodi gugur bersama 25.000 tentara pasukannya. Dengan telah ditaklukkannya Sultan Ibrahim, maka terbukalah kesempatan bagi Babur utuk mendirikan kerajaan Mughal di India.[21]
Babur meninggal dunia pada tahun 1530 M setelah memerintah selama 30 tahun. Pemerintahan kemudian dipegang oleh anaknya Humayun (1530-1556 M). Dalam masa kekuasaannnya ia banyak menghadapi tantangan, di antaranya munculnya pemberontakan Bahadur Shah, penguasa Gujarat yang memisahkan diri dari Delhi yang akhirnya dapat ia padamkan dan Gujarat berhasil ia kuasai. Selain itu pada tahun 1540 M terjadi pertempuran melawan Sher Khan di Kanauj yang membawa Humayun pada kekalahan dan melarikan diri ke Kandahar dan selanjutnya ke Persia.Humayun digantikan oleh anaknya, Akbar, yang berusia 14 tahun. Karena ia masih muda maka urusan kerajaan diserahkan kepada Bairam Khan, seorang Syi’i. Pada masa Akbar inilah kerajaan Mughal mecapai masa keemasannya.[22]
Ia menaklukkan  raja-raja India yang masih ada pada waktu itu dan kemudian juga Bengal. Dalam soal agama, Akbar mempunyai pendapat yang liberal dan ingin menyatukan semua agama dalam satu bentuk agama baru yang diberi nama Din Ilahi.[23]Kemajuan yang dicapai Akbar masih dapat dipertahankan oleh tiga sultan berikutnya, yaitu Jehangir (1605-1628 M), Syah Jehan (1628-1658 m), dan Aurangzeb (1658-1707 M). Tiga sultan penerus Akbar ini memang terhitung raja-raja yang besar dan kuat. Setelah itu, kemajuan kerajaan Mughal tidak dapat dipertahankan oleh raja-raja berikutnya.
Kemantapan stabilitas politik karena sistem pemerintahan yang diterapkan Akbar membawa kemajuan dalam bidang-bidang yang lain. Dalam bidang ekonomi, kerajaan Mughal dapat mengembangkan program pertanian, pertambangan, dan perdagangan. Akan tetapi, sumber keuangan negara lebih banyak bertumpu pada sektor pertanian. Di sektor pertanian ini, komunikasi antara pemerintah dan petani diatur dengan baik.[24]
Bersamaan dengan majunya bidang ekonomi kerajaan Mughal pada abad ke-17, mengalami kemajuan dalam bidang pengetahuan, seni, dan budaya. Di bidang pengetahuan kebahasaan Akbar telah menjadikan tiga bahasa sebagai bahasa nasional, yaitu bahasa Arab sebagai bahasa agama, bahasa Turki sebagai bangsawan dan bahasa Persia sebagai bahasa istana dan kesusastraan. Selain itu, Akbar telah memodifikasi tiga bahasa tersebut ditambah dengan bahasa Hindu dan menjadi bahasa Urdu. Di bidang filafat cukup maju dan satu di antara tokohnya adalah Akbar sendiri, sementara ahli tasawuf yang terkenal paa masa itu adalah Mubarak, Abul Faidhl, dan Abul Fadl.[25]
Dapat disebutkan di antara karya seni yang merupakan karya seni terbesar pada kerajaan Mughal dan masih bisa dinikmati hingga saat ini adalah karya-karya arsitektur yang begitu luar biasa yaitu pada masa Akbar dibangun istana Fatpur Sikri di Sikri, vila, dan masjid-masjid yang indah. Begitu pula pada masa Syah Jehan, dibangun masjid berlapiskan mutiara dan Taj Mahal di Agra, Masjid Raya Delhi dan istana indah di Lahore.
Dari penjelasan tentang kemajuan-kemajuan di atas, dapat dikatakan bahwa kemajuan-kemajuan tersebut merupakan bukti-bukti kongkret kerajaan Mughal mempunyai peranan penting dalam mengembangkan Islam di India. Meskipun kerajaan Mughal di India adalah kerajaan Islam, tetapi mayoritas penduduknya beragama Hindu.






BAB III
ANALISIS
            Masa tiga kerajaan besar merupakan masa kemajuan Islam II (1500-1700 M) yang terjadi dalam periode pertengahan setelah sebelumnya mengalami masa kemunduran I yang ditandai dengan runtuhnya kekuasaan khilafah Bani Abbasiyah di Baghdad akibat serangan tentara Mongol. Islam pada masa ini kembali berkembang dan mengalami kemajuan dengan munculnya tiga kerajaan besar, yaitu kerajaan Usmani di Turki, kerajaan kerajaan Safawi di Persia dan kerajaan Mughal di India. Ketiganya mempunyai kontribusi yang besar bagi perkembangan sejarah dan peradaban Islam di mata dunia Barat. Barat saat itu mulai bangkit dari kemundurannya. Namun jika dibandingkan dengan pengaruh ketiga kerajaan ini, Barat masih lemah.
            Kerajaan Usmani merupakan kerajaan terbesar jika dibandingkan dengan dua kerajaan lainnya. Kemunculan kerajaan Usmani ini tentunya tidak lepas dari dua hal, yaitu sosok yang memberikan andil dalam pendiriannya dan proses terbentuknya kerajaan Usmani. Awal kemunculan kerajaan Usmani tidak bisa dilepaskan dari bantuan dinasti Seljuk Rum yang pada saat itu dipimpin oleh Sultan Alauddin Syah II. Bangsa Turki dari kabilah Oghuz yang saat itu berada di bawah tekanan serangan-serangan Mongol pada abad ke-13 M, mereka melarikan diri ke daerah barat dan mencari tempat pengungsiaan di tengah-tengah saudara-saudara mereka, orang-orang Turki Seljuk. Mereka dipimpin Ertoghrul kemudian mereka membantu Sultan Alauddin II berperang melawan Bizantium dan berkat bantuan mereka, Sultan Alauddin mendapat kemenangan. Atas jasa baik itu, Sultan Alauddin menghadiahkan sebidang tanah di Asia Kecil yang berbatasan dengan Bizantium.
 Terlepasnya Usmani dari dinasti Seljuk Rum ketika dinasti ini mendapat serangan dari Mongol yang berakhir dengan kekalahan dinasti Seljuk dan terbunuhnya Sultan Alauddin. Dari sini kemudian Seljuk Rum terpecah-pecah dalam beberapa kerajaan kecil dan Utsman putra Ertoghrul pun menyatakan kemerdekaan dan berkuasa penuh atas daerah yang telah didudukinya. Jadi, berdirinya kerajaan Usmani tidak lepas dari andil Sultan Alauddin Syah II, Ertoghrul dan Utsman.
            Kerajaan Usmani memiliki wilayah kekuasaan yang cukup luas meliputi Semenanjung Balkan, Asia Kecil, Arab Timur Tengah, Mesir, dan Afrika Utara dengan 37 orang sultan. Dari banyaknya sultan kerajaan Usmani, hanya sedikit yang mampu dan sempat memberikan kontribusi bagi perkembangan Islam. Adapun sultan yang berhasil membawa kejayaan Islam pada kerajaan Usmani yaitu Sulaiman dengan menaklukkan Afrika Utara dan sekitarnya dan dikenal sebagai penguasa yang saleh.
            Kerajaan terbesar kedua dari masa tiga kerajaan besar yaitu kerajaan Safawi di Persia. Kerajaan ini berasal dari sebuah gerakan tarekat yang diberi nama tarekat Safawiyah yang diambil dari nama pendirinya yaitu Safiuddin Ishaq. Kerajaan ini didirikan oleh Ismail yang merupakan cucu dari Safiuddin Ishaq yang beraliran Syi’ah, sehingga kerajaan inipun menjadikan mazhab Syi’ah sebagai mazhab negara. Para pengikut Safiuddin kemudian menjadi tentara yang fanatik dan akhirnya aliran tarekat ini berubah menjadi gerakan politik yang diapresiasi Junaed dengan melakukan hal yang diyakininya yakni ajaran Syi’ah dan berselisih dengan suku Turki. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Abbas I.
     Kemajuan yang berhasil dicapai kerajaan Safawi antara lain ditandai dengan pembangunan mesjid-mesjid yang indah, seperti Mesjid besar Isfahan yang dibangun untuk Syah Abbas. Ilmu pengetahuan lebih berkembang pada masa kerajaan ini di bandingkan dengan kerajaan Turki Usmani karena ajaran dari Syi’ah yang tidak mengenal taklid sehingga mereka terus berijtihad meskipun ijtihad yang dilakukan hanya dalam salah satu mazhab saja.
            Kerajaan yang terakhir yaitu kerajaan Mughal di India. Kerajaan ini merupakan salah satu kerajaan yang berjasa dalam perkembangan Islam di India. Awal kekuasaan Islam di India telah terjadi pada masa Khalifah al-Walid dari dinasti Bani Umayyah. Kerajaan ini didirikan oleh Zahiruddin Babur. Akbar merupakan raja terbesar di antara raja-raja Mughal di India. Pada zaman kerajaan Mughal ini, terdapat kemajuan yaitu meningkatnya bahasa Urdu menjadi bahasa literatur dan menggantikan bahasa Persia yang sebelumnya telah dipakai di kalangan istana. Selain itu juga banyak meninggalkan gedung-gedung bersejarah seperti Taj Mahal di Agra yang termasuk ke dalam tujuh keajaiban dunia, Benteng Merah, Jama Masjid, istana serta didirikannya makam-makam yang indah.
            Sebenarnya masa tiga kerajaan besar ini dibagi ke dalam dua fase yaitu fase kemajuan dan fase kemunduran. Fase kemajuan berlangsung dari tahun 1500-1700 M dan satu abad setelahnya merupakan fase kemunduran dari tiga kerajaan besar. Masing-masing dari tiga kerajaan ini mempunyai masa keemasan dan kejayaan sendiri. Hal ini dapat dilihat dari berbagai bangunan bersejarah yang mereka tinggalkan.
            Kemajuan Islam II ini lebih banyak berupa kemajuan dalam lapangan politik yang jika dibandingkan dengan masa Kemajuan Islam I masih jauh lebih kecil. Meskipun begitu, peran tiga kerajaan besar ini begitu besar pada masa itu, di masa Islam mengalami kemundurannya, ketiganya kembali membangun peradaban Islam menuju kemajuan. Terakhir, yang bisa penulis simpulkan bahwa setiap peradaban yang dibangun Islam mulai dari kekuasaan Khulafaur Rasyidin sampai dengan masa tiga kerajaan besar pada setiap masa kekuasaannya, jika usaha ekspansi atau perluasan wilayah kekuasaan terhenti maka secara tidak langsung eksistensi kerajaanpun mulai menurun dan akhirnya mengalami masa kemundurannya.





BAB IV
PENUTUP

Simpulan
Nama kerajaan Turki Utsmani diambil dan dibangsakan kepada nenek moyang mereka yang pertama, Sultan Ustmani Ibnu Sauji Ibnu Orthogol Ibnu Sulaiman Syah Ibnu Kia Alp, kepala kabilah Kab di Asia Tengah. Turki Utsmani berkuasa sejak abad ke-13 sampai abad ke-19. Ustman memerintah antara tahun 1290 M dan 1326 M. Sebagaimana ayahnya, ia banyak berjasa kepada Sultan Alauddin II dengan keberhasilannya menduduki benteng-benteng Bizantium yang berdekatan dengan kota Broessa. Pada tahun 1300 M, bangsa Mongol menyerang kerajaan Seljuk dan Sultan Alauddin terbunuh. Kerajaan Seljuk Rum ini kemudian terpecah-pecah dalam beberapa kerajaan kecil. Utsman pun menyatakan kemerdekaan dan kekuasaan penuh atas daerah yang didudukinya. Sejak itulah, kerajaan Utsmani dinyatakan berdiri.
Kemajuan dan perkembangan ekspansi kerajaan Usmani yang demikian luas dan berlangsung dengan cepat itu diikuti pula oleh kemajuan-kemajuan dalam bidang-bidang kehidupan yang lain. Sebagai bangsa yang berdarah militer, Turki Usmani lebih banyak memfokuskan kegiatan mereka dalam bidang kemiliteran, sementara dalam bidang ilmu pengetahuan, mereka kelihatan tidak terlalu menonjol.
Kerajaan Safawi berkuasa selama 2 abad. Pendirinya adalah Ismail yang dinisbahkan pada tarekat safawiyah yang didirikan oleh Syekh Safiuddin. Masa kekuasaan Abbas I merupakan puncak kejayaan Kerajaan Safawi. Secara politik, ia mampu mengatasi berbagai kemelut di dalam negeri yang mengganggu stabilitas negara dan berhasil merebut kembali wilayah-wilayah yang pernah direbut oleh kerajaan lain pada masa raja-raja sebelumnya.
Kerajaan Mughal di India dengan Delhi sebagai ibu kota, didirian oleh Zahiruddin Babur (1482-1530 M), salah satu dari cucu-cucu Timur Lenk. Pada masa kekuasaan Akbar, kerajaan Mughal mecapai masa keemasannya Di antara karya seni yang merupakan karya seni terbesar pada kerajaan Mughal yang masih bisa dinikmati hingga saat ini adalah karya-karya arsitektur yang begitu luar biasa yaitu pada masa Akbar dibangun istana Fatpur Sikri di Sikri, vila, dan masjid-masjid yang indah. Begitu pula pada masa Syah Jehan, dibangun masjid berlapiskan mutiara dan Taj Mahal di Agra, Masjid Raya Delhi dan istana indah di Lahore.





           
DAFTAR PUSTAKA

Hamka. 1987. Sejarah Umat Islam, III. Jakarta. Bulan Bintang.
Karim, M. Abdul. 2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta. Pustaka Book Publisher.
Nasution, Harun. 1985.  Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, jilid I. Jakarta. UI Press.
Nata, Abuddin. 2011.  Studi Islam Komprehensif. JakartA. Kencana.
Supriyadi, Dedi. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung. Pustaka Setia.
Yatim, Badri. 2011.  Sejarah Peradaban Islam. Jakarta. RajaGrafindo Persada.


[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), h. 129-130
[2] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 248
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, op.cit., h. 130
[4] Ibid., h. 130-131               
[5]M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), h. 312

[6] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, op.cit., h. 131
[7] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, loc.cit.
[8] Ibid., h. 313
[9] Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, jilid I, (Jakarta: UI Press, 1985), Ed. Ke-2 Cet. 2005, h. 81
[10] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, op.cit., h. 134
[11] Ibid., h. 135
[12] Ibid., h. 136
[13] Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 353
[14] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, op.cit., h. 142-143                                           
[15] Ibid., h. 143
[16] Ibid., h. 144
[17] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, op.cit., h. 257
[18] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, op.cit., h. 144-145
[19] Ibid., h. 145
[20] Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, jilid I, op.cit, h. 82
[21] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, op.cit., h. 315
[22] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, op.cit., h. 148
[23] Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, jilid I, loc.cit.
[24] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, op.cit., h. 150
[25] Hamka, Sejarah Umat Islam, III, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h. 152

4 komentar: