BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Seperti halnya dengan
sejarah setiap umat, sejarah Islam dapat dibagi ke dalam periode klasik,
periode pertengahan dan periode modern. Pada periode tertentu Islam mengalami
pertumbuhan dan perkembangan, pada periode berikutnya Islam mengalami
kemunduran bahkan kehancuran. Dalam pembahasan kali ini akan dibahas sejarah
Islam pada periode pertengahan, yaitu pada masa tiga kerajaan besar.
Setelah runtuhnya
pemerintahan klilafah Abbasiyah di Baghdad akibat
serangan tentara Mongol, kekuatan politik Islam mengalami kemunduran secara
drastis. Keadaan politik umat Islam baru mengalami kemajuan kembali setelah
muncul dan berkembangnya tiga kerajaan besar
yaitu Kerajaan Usmani di Turki, Kerajaan Mughal di India, dan Kerajaan Safawi di Persia. Selanjutnya
pada bab II akan dibahas lebih lanjut mengenai proses berdiri dan kemajuan yang
berhasil dicapai Islam masa tiga kerajaan besar.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
sejarah pertumbuhan tiga kerajaan besar ?
2.
Bagaimana
kemajuan dan perkembangan tiga kerajaan besar ?
3.
Bagaimana
perbedaan kemajuan masa ini dengan masa klasik ?
C. Tujuan
1.
Untuk
mengetahui sejarah masing-masing kerajaan (Usmani, Mughal dan Safawi).
2.
Untuk
mengetahui kemajuan dan perkembangan masing-masing kerajaan.
3. Untuk memenuhi tugas mandiri mata kuliah
Sejarah Peradaban Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kerajaan
Usmani Di Turki
Pendiri kerajaan ini adalah bangsa Turki
dari kabilah Oghuz yang mendiami daerah Mongol dan daerah utara negeri Cina.
Dalam jangka waktu kira-kira tiga abad, mereka pindah ke Turkistan kemudian
Persia dan Irak. Mereka masuk Islam sekitar abad kesembilan atau kesepuluh,
ketika mereka menetap di Asia Tengah. Dibawah tekanan serangan-serangan Mongol
pada abad ke-13 M, mereka melarikan diri ke daerah barat dan mencari tempat pengungsiaan di
tengah-tengah saudara-saudara mereka, orang-orang Turki Seljuk, di dataran
tinggi Asia Kecil. Di sana, di bawah pimpinan Ertoghrul, mereka mengabdikan
diri kepada Sultan Alauddin II, Sultan Seljuk yang kebetulan sedang berperang
melawan Bizantium. Berkat bantuan mereka, Sultan Alauddin mendapat kemenangan. Atas
jasa baik itu, Alauddin menghadiahkan sebidang tanah di Asia Kecil yang
berbatasan dengan Bizantium. Sejak itu, mereka terus membina wilayah barunya
dan memilih kota Syukud sebagai ibukota[1]
Nama kerajaan Turki Utsmani diambil dan
dibangsakan kepada nenek moyang mereka yang pertama, Sultan Ustmani Ibnu Sauji
Ibnu Orthogol Ibnu Sulaiman Syah Ibnu Kia Alp, kepala kabilah Kab di Asia
Tengah. Turki Utsmani berkuasa sejak abad ke-13 sampai abad ke-19. Raja pertama
Turki Utsmani adalah Utsman dengan gelar Padisya Alu Utsman atau Raja dari
keluarga Utsman.[2]
Setelah Ertoghrul meninggal dunia tahun
1289., kepemimpinan dilanjutkan oleh putranya, Utsman. Putra Ertoghrul inilah
yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Utsmani. Ustman memerintah antara tahun
1290 M dan 1326 M. Sebagaimana ayahnya, ia banyak berjasa kepada Sultan
Alauddin II dengan keberhasilannya menduduki benteng-benteng Bizantium yang
berdekatan dengan kota Broessa. Pada tahun 1300 M, bangsa Mongol menyerang
kerajaan Seljuk dan Sultan Alauddin terbunuh. Kerajaan Seljuk Rum ini kemudian
terpecah-pecah dalam beberapa kerajaan kecil. Utsman pun menyatakan kemerdekaan
dan kekuasaan penuh atas daerah yang didudukinya. Sejak itulah, kerajaan
Utsmani dinyatakan berdiri. Penguasa pertamanya adalah Utsman yang sering
disebut juga Utsman I.[3]
Setelah
kekuasaan Utsman I berakhir, pemerintahan dilanjutkan oleh Orkhan. Pada masa
pemerintahan Orkhan (726 H/1326 M-761 H/1359 M) Kerajaan Turki Usmani ini dapat
menaklukkan Azmir (Smirna) tahun 1327 M, Thawasyanli (1330 M), Uskandar (1338
M), Ankara (1354 M), dan gallipoli (1256 M). Daerah ini adalah bagian benua
Eropa yang pertama kali diduduki kerajaan Usmani.[4]
“Penggantinya, yaitu puteranya yang bernama Murad I
berhasil menaklukkan banyak daerah, seperti Adrianopol, Masedonia, Bulgaria,
Serbia, dan Asia Kecil. Namun, yang paling monumental adalah penaklukkan di
Kosovo (1389 M)”.[5]
Merasa
cemas terhadap kemajuan ekspansi kerajaan ini ke Eropa, Paus mengobarkan
semangat perang. Sejumlah besar pasukan sekutu Eropa disiapkan untuk memukul
mundur Turki Usmani. Pasukan ini dipimpin oleh Sijisman, raja Hongaria. Namun,
Sultan Bayazid I (1389-1403 M), pengganti Murad I, dapat menghancurkan pasukan
sekutu Kristen Eropa tersebut. Peristiwa ini merupakan catatan sejarah yang
amat gemilang bagi umat Islam.[6]
Bayazid
dengan cepat menaklukkan daerah dan memperluas di Eropa. Bayazid sempat
mengepung Konstantinopel selama enam bulan, namun akhirnya gagal karena
menghadapi tentaranya Timur Lang dan meninggal dunia di penjara Timur setelah
kalah perang dan tertangkap dalam perang di Anggora. Sepeninggal bayazid, Turki
Usmani mulai mengalami kemunduran. Selanjutnya Turki Usmani dipimpin oleh
Muhammad. Akhirnya ia berhasil mengembalikan Turki Usmani seperti sediakala.
Meskipun ia tidak melakukan perluasan wilayah dan penaklukkan, Muhammad
berhasil membawa Turki Usmani stabil kembali. Dengan keberhasilan ini, ia
disejajarkan oleh sejarawan dengan Umar II dari Dinasti Umayah. Setelah ia
meninggal digantikan dengan Murad II. Ia mengembalikan citra Murad I, yaitu
dengan merebut kembali daerah-daerah di Eropa (Kosovo) yang lepas setelah
meninggalnya Bayazid.[7]
Penggantinya
Murad II adalah Muhammad II, dalam sejarah terkenal dengan Muhammad al-Fatih.
Ia berhasil menaklukkan kota Konstantinopel pertama kali yang telah dicita-citakan
sejak Khalifah Usman ibn Affan, Gubernur Muawiyah yang pertama kali menyerang
Konstantinopel dan khalifah-khalifah selanjutnya yang berabad-abad
mencita-citakan penaklukkan Konstantinopel, akhirnya tercapai pada 29 Mei 1453
M. Pada saat itulah awal kehancuran Bizantium yang telah berkuasa sebelum masa
Nabi.[8]
Ekspansi
ke arah Barat dengan demikian berjalan lebih lancar. Tetapi di zaman Sultan
Salim I (1512-1520 M) perhatian ke arah Barat dialihkan ke Timur. Persia mulai
diserang dan dalam peperangan Syah Ismail dikalahkan dan dipukul mundur.
Setelah menguasai Suria, Sultan Salim merebut Mesir dari tangan Dinasti Mamluk.
Kairo jatuh di tahun 1517 M. Kemajuan-kemajuan lain dibuat oleh Sultan Sulaiman
Al-Qanuni (1520-1566 M). Sultan Sulaiman adalah Sultan Usmani yang terbesar. Di
zamannya Irak, Belgrado, Pulau Rhodes, Tunis, Budapest dan Yaman dapat
dikuasai. Winen ia kepung di tahun 1529 M. Di masa kerajaannya daerah kekuasaan
Kerajaan Usmani mencakup Asia Kecil, Mesir, Libia, Tunis serta Aljazair di
Afrika dan Bulgaria, Yunani, Yugoslavia, Albania, Hongaria dan Rumania di
Eropa.[9]
Dengan
demikian diketahuilah bahwa kerajaan ini berdiri setelah Dinasti Turki Seljuk
mengalami kehancuran ketika mendapat serangan dari tentara Mongol. Pada masa
kejayaannya yaitu pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman wilayah kekuasaan kerajaan
Usmani sudah mencakup sebagian besar Asia dan Eropa. Kerajaan ini berdiri
paling lama dibandingkan dua dari tiga kerajaan besar.
Kemajuan
dan perkembangan ekspansi kerajaan Usmani yang demikian luas dan berlangsung
dengan cepat itu diikuti pula oleh kemajuan-kemajuan dalam bidang-bidang
kehidupan yang lain. Yang terpenting di antaranya adalah sebagai berikut.
1.
Bidang Kemiliteran dan Pemerintahan
Pembaruan
dalam tubuh organisasi militer oleh Orkhan, tidak hanya dalam bentuk mutasi
personel-personel pimpinan, tetapi juga diadakan perombakan dalam keanggotaan.
Bangsa-bangsa non-Turki dimasukkan sebagai anggota, bahkan anak-anak Kristen
masih kecil diasramakan dan dibimbing dalam suasana Islam untuk dijadikan
prajurit. Program ini ternyata berhasil dengan terbentuknya kelompok militer
baru yang disebut pasukan Jenissari dan Inkisyariah.[10]
Dalam struktur pemerintahan,
sultan sebagai penguasa tertinggi, dibantu oleh shadr al-a’zham (perdana
menteri), yang membawahi pasya (gubernur). Gubernur mengepalai daerah
tingkat I. Di bawahnya terdapat beberapa orang al-zanaziq atau al-‘alawiyah
(bupati). Untuk mengatur urusan pemerintahan negara, di masa Sultan
Sulaiman I, disusun sebuah kitab undang-undang (qanun), kitab tersebut
diberi nama Multaqa al-Abhur, yang menjadi pegangan hukum bagi kerajaan
Turki Usmani sampai datangnya reformasi pada abad ke-19.[11]
2.
Bidang Ilmu Pengetahuan dan Budaya
Sebagai bangsa yang berdarah
militer, Turki Usmani lebih banyak memfokuskan kegiatan mereka dalam bidang
kemiliteran, sementara dalam bidang ilmu pengetahuan, mereka kelihatan tidak
terlalu menonjol. Karena itulah, di dalam khazanah intelektual Islam kita tidak
menemukan ilmuan terkemuka dari Turki Usmani. Namun demikian, mereka banyak
berkiprah dalam pengembangan seni arsitektur Islam berupa bangunan-bangunan
masjid yang indah, sepperti Masjid Al-Muhammadi atau Masjid Jami’ Sultan
Muhammad Al-Fatih, Masjid Agung Sulaiman, dan Masjid Abi Ayyub An-Anshari.
Salah satu masjid yang terkenal dengan keindahan kaligrafinya adalah masjid
yang asalnya gereja Aya Sopia.[12]
3.
Bidang Keagamaan
Mufti,
sebagai pejabat urusan agama tertinggi, berwenang memberi fatwa resmi terhadap
problema keagamaan yang dihadapi masyarakat. Tanpa legitimasi Mufti, keputusan
hukum kerajaan bisa tidak berjalan. Pada masa Turki Usmani tarekat yang paling
berkembang ialah tarekat Bekhtasyi dan tarekat Maulawi. Sisi lain pada masa
ini, kajian tentang ilmu keagamaan, seperti fiqh, ilmu kalam, tafsir, dan
hadits tidak mengalami perkembangan yang berarti. Para penguasanya cenderung
menegakkan pada satu mazhab seperti Sultan Abd Al-Hamid II yang begitu fanatik
terhadap aliran Asy’ariyah dengan mempertahankannya dari kritikan-kritikan
aliran yang lain.
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kerajaan Turki Utsmani dalam masa
kekuasaannya lebih banyak mengurus kegiatan politik negara sehingga kegiatan
yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan kurang berkembang.
Seluruh pasukan militer
dididik dan dilatih dalam asrama militer dengan pembekalan semangat perjuangan
Islam. Kekuatan militer ini berhasil
mengubah kerajaan usmani yang baru lahir menjadi mesin perang yang paling kuat
serta memberikan dorongan besar
penaklukkan negeri-negeri non-muslim di Asia dan Eropa.
B.
Kerajaan Safawi Di Persia
Ketika kerajaan
Usmani mencapai puncak kemajuannya, kerajaan Safawi di Persia baru berdiri.
Kerajaan ini berkembang dengan cepat. Dalam perkembangannya, kerajaan Safawi
sering bentrok dengan Turki Usmani. Adapun kerajaan Safawi merupakan Kerajaan
Besar Kedua di Dunia Islam pada periode pertengahan. Kerajaan Safawi ini
berasal dari seorang sufi Syekh Ishak Safiuddin (1252-1334 M) dari Ardabil di
Azarbaijan. Syekh Safiuddin beraliran Syi’ah dan mempunyai pengaruh besar di
daerah itu.[13]
Kerajaan Safawi berkuasa selama 2 abad. Pendirinya adalah
Ismail yang dinisbahkan pada tarekat safawiyah yang didirikan oleh Syekh
Safiuddin. Ismail menjadikan aliran Syi’ah sebagai
mazhab yang dianut negara. Lama kelamaan pengikut tarekat Safawiyah berubah
menjadi tentara yang teratur, fanatik dalam hal kepercayaan dan menentang
setiap orang yang tidak bermazhab Syi’ah. Kecenderungan ini diapresiasi oleh
Juneid (1447-1460 M). Ismail wafat pada
tahun 1524 dengan wilayah kekuasaan yang berhasil ditaklukkannya meliputi
daerah Utara Tranxosiana sampai Teluk Persia di wilayah Selatan, Afganistan di
bagian timur hingga bagian barat Sungai Efrat. Ismail digantikan oleh putranya
Shah Thamasp ysng ketika diangkat menjadi raja berumur sepuluh tahun. Pada 1554
M, ia mengadakan perjanjian damai dengan Sulaiman Agung dari Turki Utsmani
dengan hasil perjanjian seluruh Persia dikuasai kecuali Diar-e-Bakr dan Kurdistan.
Pada zaman
pemerintahan Tahmasp I (1524-1576 M), Ismail II (1576-1577 M), dan Muhammad
Khudabanda (1577-1587 M), kerajaan Safawi dalam keadaan lemah secara eksternal
karena sering terjadi peperangan dengan kerajaan Utsmani yang lebih kuat juga
mengalami pertentangan internal antara kelompok-kelompok di dalam negeri
sendiri.
Kondisi
memprihatinkan tersebut baru bisa diatasi setelah raja Safawi kelima, Abbas I,
naik tahta. Ia memerintah dari tahun 1588 sampai dengan 1628 M. Langkah-langkah
yang ditempuh oleh Abbas I dalam rangka memulihkan kerajaan Safawi ialah: Pertama,
berusaha menghilangkan dominasi pasukan
Qizilbash atas Kerajaan Safawi dengan cara membentuk pasukan baru yang
anggotanya terdiri dari budak-budak, berasal dari tawanan perang bangsa
Georgia, Armenia, dan Sircassia yang telah ada sejak raja Tahmasp I. Kedua,
mengadakan perjanjian damai, dengan Turki Utsmani Untuk mewujudkan perjanjian
ini, Abbas I terpaksa harus menyerahkan wilayah Azerbaijan, Georgia, dan
sebagian wilayah Luristan.[14]
Masa
kekuasaan Abbas I merupakan puncak kejayaan Kerajaan Safawi. Secara politik, ia
mampu mengatasi berbagai kemelut di dalam negeri yang mengganggu stabilitas
negara dan berhasil merebut kembali wilayah-wilayah yang pernah direbut oleh
kerajaan lain pada masa raja-raja sebelumnya.[15]
Kemajuan
yang dicapai kerajaan Safawi tidak hanya terbatas di bidang politik. Di bidang
yang lain, kerajaan ini juga mengalami banyak kemajuan, diantaranya:
1.
Bidang Ekonomi
Carl
Borckelmann yang dikutip Badri Yatim menyebutkan stabilitas politik Kerajaan
Safawi pada masa Abbas I ternyata telah memacu perkembangan perekonomian Safawi,
lebih-lebih setelah kepulauan Hurmuz dikuasai dan pelabuhan Gumrun diubah
menjadi Bandar Abbas. Dengan dikuasainya bandar ini maka salah satu jalur
dagang laut antara Timur dan Barat yang biasa diperebutkan oleh Belanda,
Inggris, dan Perancis sepenuhnya menjadi milik kerajaan Safawi.
Di
samping sektor perdagangan, kerajaan Safawi juga mengalami kemunduran di sektor
pertanian terutama di daerah Bulan Sabit Subur (Fortile Crescent).[16]
2.
Bidang Ilmu Pengetahuan
Dalam
sejarah Islam, bangsa Persia dikenal sebagai bangsa yang berperadaban tinggi
dan berjasa dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan apabila pada masa kerajaan Safawi, khususnya ketika Abbas I
berkuasa, tradisi keilmuan terus berkembang.
Berkembangnya
imu pengetahuan masa kerajaan Safawi tidak lepas dari suatu doktrin mendasar
bahwa kaum Syi’ah tidak boleh taqlid dan pintu ijtihad selamanya
terbuka.[17]
Ada beberapa ilmuan yang selalu hadir di majlis istana,
yaitu Baha Al-Din Al-Syaerazi, generalis ilmu pengetahuan, Sadar Damad,
filosof, ahli sejarah, teolog, dan seorang yang penah mengadakan observasi
mengenai kehidupan lebah-lebah. Dalam bidang ini, kerajaan Safawi mungkin dapat
dikatakan lebih berhasil dari dua kerajaan besar Islam lainnya pada masa yang
sama.
3.
Bidang Pembangunan Fisik dan Seni
Marshal
G. S. Hodgson yang dikutip Badri Yatim menuliskan para penguasa kerajaan ini
telah berhasil menciptakan Isfahan, ibukota kerajaan, menjadi kota yang sangat
indah. Di kota tersebut, berdiri bangunan-bangunan besar lagi indah seperti
masjid-masjid, rumah-rumah sakit, sekolah-sekolah, jembatan raksasa di atas
Zende Rud, dan istana Chihil Sutun. Kota Isfahan juga diperindah dengan
taman-taman wisata yang ditata secara apik. Ketika Abbas I wafat, di Isfahan
terdapat 162 mesjid, 48 akademi, 1802 penginapan, dan 273 pemandian umum.
Di
bidang seni, kemajuan nampak begitu kentara dalam gaya arsitektur
bangunan-bangunannya, seperti terlihat pada mesjid Shah yang dibangun tahun
1661 M dan mesjid Syaikh Luth Allah yang dibangun tahun 1603 M.[18]
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa satu hal
yang menjadi perhatian dari kerajaan Safawi yaitu kerajaan tersebut beraliran
syiah dan dijadikannya sebagai dasar keyakinan negara yang lambat laun para
pengikut aliran tersebut berubah menjadi tentara yang fanatik dan menentang
setiap orang yang tidak bermazhab syiah. Di samping itu masa kekuasaan yang
cukup lama membuat kerajaan Safawi menambah perkembangan Islam. Di antaranya
memperkenalkan peradaban dan kebudayaan Islam baik dengan seni, ilmu
pengetahuan dan pembangunan fisik lainnya.
Ilmu pengetahuan lebih berkembang pada masa kerajaan ini di bandingkan dengan
kerajaan Turki Usmani karena ajaran dari Syi’ah yang tidak mengenal taklid
sehingga mereka terus berijtihad meskipun ijtihad yang dilakukan hanya dalam
salah satu mazhab saja.
C.
Kerajaan Mughal Di India
Syed
Mahmudunnasir yang dikutip Badri Yatim menuliskan kerajaan Mughal berdiri
seperempat abad sesudah berdirinya kerajaan Safawi. Jadi, di antara tiga
kerajaan besar Islam tersebut, kerajaan inilah yang termuda. Kerajaan Mughal
bukanlah kerajaan Islam petama di anak benua India. Awal kekuasaan Islam di
wilayah India terjadi pada masa Khalifah Al-Walid, dari dinasti Bani Umayyah.
Penaklukan wilayah ini dilakukan oleh tentara Bani Umayyah di bawah pimpinan
Muhammad ibn Qasim.[19]
“Kerajaan Mughal di India dengan Delhi sebagai ibu kota,
didirian oleh Zahiruddin Babur (1482-1530 M), salah satu dari cucu-cucu Timur
Lenk. Setelah menundukkan Kabul, ia melalui Khybar Pass, menyeberang ke India
di tahun 1505 M. Lohare jatuh ke bawah kekuasaannnya di tahun 1523 M”.[20]
Pada 1525 M, Babur meneruskan
perjalanan menuju Punjab, dan dalam petempuran tersebut, Punjab pun dapat
ditaklukkannya. Kesempatan baik bagi Babur untuk mengadakan serangan ke Delhi,
di mana pada waktu itu Sultan Ibrahim Lodi sedang berselisih dengan pamannya,
Alam. Pada 21 April 1526 M, terjadilah peperangan yang dahsyat di Panipat,
Sultan Ibrahim dengan gigih mempertahankan negeri bersama 100.000 orang tentara
dan 1000 kendaraan gajah. Namun, Babur mampu memenangkan pertempuran karena ia
menggunakan senjata api berupa meriam, dan akhirnya Sultan Ibrahim Lodi gugur
bersama 25.000 tentara pasukannya. Dengan telah ditaklukkannya Sultan Ibrahim,
maka terbukalah kesempatan bagi Babur utuk mendirikan kerajaan Mughal di India.[21]
Babur meninggal dunia pada
tahun 1530 M setelah memerintah selama 30 tahun. Pemerintahan kemudian dipegang
oleh anaknya Humayun (1530-1556 M). Dalam masa kekuasaannnya ia banyak
menghadapi tantangan, di antaranya munculnya pemberontakan Bahadur Shah,
penguasa Gujarat yang memisahkan diri dari Delhi yang akhirnya dapat ia
padamkan dan Gujarat berhasil ia kuasai. Selain itu pada tahun 1540 M terjadi
pertempuran melawan Sher Khan di Kanauj yang membawa Humayun pada kekalahan dan
melarikan diri ke Kandahar dan selanjutnya ke Persia.
“Humayun digantikan oleh anaknya, Akbar, yang berusia 14
tahun. Karena ia masih muda maka urusan kerajaan diserahkan kepada Bairam Khan,
seorang Syi’i. Pada masa Akbar inilah kerajaan Mughal mecapai masa keemasannya”.[22]
“Ia menaklukkan
raja-raja India yang masih ada pada waktu itu dan kemudian juga Bengal.
Dalam soal agama, Akbar mempunyai pendapat yang liberal dan ingin menyatukan
semua agama dalam satu bentuk agama baru yang diberi nama Din Ilahi”.[23]Kemajuan
yang dicapai Akbar masih dapat dipertahankan oleh tiga sultan berikutnya, yaitu
Jehangir (1605-1628 M), Syah Jehan (1628-1658 m), dan Aurangzeb (1658-1707 M).
Tiga sultan penerus Akbar ini memang terhitung raja-raja yang besar dan kuat.
Setelah itu, kemajuan kerajaan Mughal tidak dapat dipertahankan oleh raja-raja
berikutnya.
Kemantapan stabilitas politik
karena sistem pemerintahan yang diterapkan Akbar membawa kemajuan dalam
bidang-bidang yang lain. Dalam bidang ekonomi, kerajaan Mughal dapat
mengembangkan program pertanian, pertambangan, dan perdagangan. Akan tetapi,
sumber keuangan negara lebih banyak bertumpu pada sektor pertanian. Di sektor
pertanian ini, komunikasi antara pemerintah dan petani diatur dengan baik.[24]
Bersamaan dengan majunya bidang
ekonomi kerajaan Mughal pada abad ke-17, mengalami kemajuan dalam bidang
pengetahuan, seni, dan budaya. Di bidang pengetahuan kebahasaan Akbar telah
menjadikan tiga bahasa sebagai bahasa nasional, yaitu bahasa Arab sebagai bahasa
agama, bahasa Turki sebagai bangsawan dan bahasa Persia sebagai bahasa istana
dan kesusastraan. Selain itu, Akbar telah memodifikasi tiga bahasa tersebut
ditambah dengan bahasa Hindu dan menjadi bahasa Urdu. Di bidang filafat cukup
maju dan satu di antara tokohnya adalah Akbar sendiri, sementara ahli tasawuf
yang terkenal paa masa itu adalah Mubarak, Abul Faidhl, dan Abul Fadl.[25]
Dapat disebutkan
di antara karya seni yang merupakan karya seni terbesar
pada kerajaan Mughal dan masih bisa dinikmati hingga saat ini adalah karya-karya
arsitektur yang begitu luar biasa yaitu pada masa Akbar dibangun istana Fatpur
Sikri di Sikri, vila, dan masjid-masjid yang indah. Begitu pula pada masa Syah
Jehan, dibangun masjid berlapiskan mutiara dan Taj Mahal di Agra, Masjid Raya
Delhi dan istana indah di Lahore.
Dari
penjelasan tentang kemajuan-kemajuan di atas, dapat dikatakan bahwa
kemajuan-kemajuan tersebut merupakan bukti-bukti kongkret kerajaan Mughal
mempunyai peranan penting dalam mengembangkan Islam di India. Meskipun
kerajaan Mughal di India adalah kerajaan Islam, tetapi mayoritas penduduknya
beragama Hindu.
BAB III
ANALISIS
Masa
tiga kerajaan besar merupakan masa kemajuan Islam II (1500-1700 M) yang terjadi
dalam periode pertengahan setelah sebelumnya mengalami masa kemunduran I yang
ditandai dengan runtuhnya kekuasaan khilafah Bani Abbasiyah di Baghdad akibat
serangan tentara Mongol. Islam pada masa ini kembali berkembang dan mengalami
kemajuan dengan munculnya tiga kerajaan besar, yaitu kerajaan Usmani di Turki,
kerajaan kerajaan Safawi di Persia dan kerajaan Mughal di India. Ketiganya
mempunyai kontribusi yang besar bagi perkembangan sejarah dan peradaban Islam
di mata dunia Barat. Barat saat itu mulai bangkit dari kemundurannya. Namun
jika dibandingkan dengan pengaruh ketiga kerajaan ini, Barat masih lemah.
Kerajaan
Usmani merupakan kerajaan terbesar jika dibandingkan dengan dua kerajaan
lainnya. Kemunculan kerajaan Usmani ini tentunya tidak lepas dari dua hal,
yaitu sosok yang memberikan andil dalam pendiriannya dan proses terbentuknya
kerajaan Usmani. Awal kemunculan kerajaan Usmani tidak bisa dilepaskan dari
bantuan dinasti Seljuk Rum yang pada saat itu dipimpin oleh Sultan Alauddin
Syah II. Bangsa Turki dari kabilah Oghuz yang saat itu berada di bawah tekanan
serangan-serangan Mongol pada abad ke-13 M, mereka melarikan diri ke daerah
barat dan mencari tempat pengungsiaan di tengah-tengah saudara-saudara mereka,
orang-orang Turki Seljuk. Mereka dipimpin Ertoghrul kemudian mereka membantu Sultan Alauddin II berperang
melawan Bizantium dan berkat
bantuan mereka, Sultan Alauddin mendapat
kemenangan. Atas jasa baik itu, Sultan
Alauddin menghadiahkan sebidang tanah di Asia Kecil
yang berbatasan dengan Bizantium.
Terlepasnya
Usmani dari dinasti Seljuk Rum ketika dinasti ini mendapat serangan dari Mongol
yang berakhir dengan kekalahan dinasti Seljuk dan terbunuhnya Sultan Alauddin.
Dari sini kemudian Seljuk Rum terpecah-pecah dalam beberapa kerajaan kecil dan
Utsman putra Ertoghrul pun menyatakan kemerdekaan dan berkuasa penuh atas
daerah yang telah didudukinya. Jadi, berdirinya kerajaan Usmani tidak lepas
dari andil Sultan Alauddin Syah II, Ertoghrul dan Utsman.
Kerajaan Usmani memiliki wilayah kekuasaan yang cukup
luas meliputi Semenanjung Balkan, Asia Kecil, Arab Timur Tengah, Mesir, dan
Afrika Utara dengan 37 orang sultan. Dari banyaknya sultan kerajaan Usmani,
hanya sedikit yang mampu dan sempat memberikan kontribusi bagi perkembangan
Islam. Adapun sultan yang berhasil membawa kejayaan Islam pada kerajaan Usmani
yaitu Sulaiman dengan menaklukkan Afrika Utara dan sekitarnya dan dikenal
sebagai penguasa yang saleh.
Kerajaan
terbesar kedua dari masa tiga kerajaan besar yaitu kerajaan Safawi di Persia. Kerajaan
ini berasal dari sebuah gerakan tarekat yang diberi nama tarekat Safawiyah yang
diambil dari nama pendirinya yaitu Safiuddin Ishaq. Kerajaan ini didirikan oleh
Ismail yang merupakan cucu dari Safiuddin Ishaq yang beraliran Syi’ah, sehingga
kerajaan inipun menjadikan mazhab Syi’ah sebagai mazhab negara. Para pengikut
Safiuddin kemudian menjadi tentara yang fanatik dan akhirnya aliran tarekat ini
berubah menjadi gerakan politik yang diapresiasi Junaed dengan melakukan hal
yang diyakininya yakni ajaran Syi’ah dan berselisih dengan suku Turki. Kerajaan
ini mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Abbas I.
Kemajuan yang
berhasil dicapai kerajaan Safawi antara lain ditandai dengan pembangunan
mesjid-mesjid yang indah, seperti Mesjid besar Isfahan yang dibangun untuk Syah
Abbas. Ilmu pengetahuan lebih berkembang pada
masa kerajaan ini di bandingkan dengan kerajaan Turki Usmani karena ajaran dari
Syi’ah yang tidak mengenal taklid sehingga mereka terus berijtihad meskipun
ijtihad yang dilakukan hanya dalam salah satu mazhab saja.
Kerajaan
yang terakhir yaitu kerajaan Mughal di India. Kerajaan ini merupakan salah satu
kerajaan yang berjasa dalam perkembangan Islam di India. Awal kekuasaan Islam
di India telah terjadi pada masa Khalifah al-Walid dari dinasti Bani Umayyah.
Kerajaan ini didirikan oleh Zahiruddin Babur. Akbar merupakan raja terbesar di
antara raja-raja Mughal di India. Pada zaman kerajaan Mughal ini, terdapat
kemajuan yaitu meningkatnya bahasa Urdu menjadi bahasa literatur dan
menggantikan bahasa Persia yang sebelumnya telah dipakai di kalangan istana.
Selain itu juga banyak meninggalkan gedung-gedung bersejarah seperti Taj Mahal
di Agra yang termasuk ke dalam tujuh keajaiban dunia, Benteng Merah, Jama
Masjid, istana serta didirikannya makam-makam yang indah.
Sebenarnya
masa tiga kerajaan besar ini dibagi ke dalam dua fase yaitu fase kemajuan dan
fase kemunduran. Fase kemajuan berlangsung dari tahun 1500-1700 M dan satu abad
setelahnya merupakan fase kemunduran dari tiga kerajaan besar. Masing-masing
dari tiga kerajaan ini mempunyai masa keemasan dan kejayaan sendiri. Hal ini
dapat dilihat dari berbagai bangunan bersejarah yang mereka tinggalkan.
Kemajuan
Islam II ini lebih banyak berupa kemajuan dalam lapangan politik yang jika
dibandingkan dengan masa Kemajuan Islam I masih jauh lebih kecil. Meskipun
begitu, peran tiga kerajaan besar ini begitu besar pada masa itu, di masa Islam
mengalami kemundurannya, ketiganya kembali membangun peradaban Islam menuju
kemajuan. Terakhir, yang bisa penulis simpulkan bahwa setiap peradaban yang
dibangun Islam mulai dari kekuasaan Khulafaur Rasyidin sampai dengan masa tiga
kerajaan besar pada setiap masa kekuasaannya, jika usaha ekspansi atau
perluasan wilayah kekuasaan terhenti maka secara tidak langsung eksistensi
kerajaanpun mulai menurun dan akhirnya mengalami masa kemundurannya.
BAB IV
PENUTUP
Simpulan
Nama kerajaan Turki Utsmani diambil dan dibangsakan kepada
nenek moyang mereka yang pertama, Sultan Ustmani Ibnu Sauji Ibnu Orthogol Ibnu
Sulaiman Syah Ibnu Kia Alp, kepala kabilah Kab di Asia Tengah. Turki Utsmani
berkuasa sejak abad ke-13 sampai abad ke-19. Ustman memerintah antara tahun
1290 M dan 1326 M. Sebagaimana ayahnya, ia banyak berjasa kepada Sultan
Alauddin II dengan keberhasilannya menduduki benteng-benteng Bizantium yang
berdekatan dengan kota Broessa. Pada tahun 1300 M,
bangsa Mongol menyerang kerajaan Seljuk dan Sultan Alauddin terbunuh. Kerajaan
Seljuk Rum ini kemudian terpecah-pecah dalam beberapa kerajaan kecil. Utsman
pun menyatakan kemerdekaan dan kekuasaan penuh atas daerah yang didudukinya.
Sejak itulah, kerajaan Utsmani dinyatakan berdiri.
Kemajuan dan perkembangan ekspansi kerajaan Usmani yang
demikian luas dan berlangsung dengan cepat itu diikuti pula oleh
kemajuan-kemajuan dalam bidang-bidang kehidupan yang lain. Sebagai bangsa yang
berdarah militer, Turki Usmani lebih banyak memfokuskan kegiatan mereka dalam
bidang kemiliteran, sementara dalam bidang ilmu pengetahuan, mereka kelihatan
tidak terlalu menonjol.
Kerajaan Safawi berkuasa selama 2 abad. Pendirinya adalah
Ismail yang dinisbahkan pada tarekat safawiyah yang didirikan oleh Syekh
Safiuddin. Masa kekuasaan Abbas I merupakan puncak kejayaan Kerajaan Safawi.
Secara politik, ia mampu mengatasi berbagai kemelut di dalam negeri yang
mengganggu stabilitas negara dan berhasil merebut kembali wilayah-wilayah yang
pernah direbut oleh kerajaan lain pada masa raja-raja sebelumnya.
Kerajaan
Mughal di India dengan Delhi sebagai ibu kota, didirian oleh Zahiruddin Babur
(1482-1530 M), salah satu dari cucu-cucu Timur Lenk. Pada masa kekuasaan Akbar,
kerajaan Mughal mecapai masa keemasannya Di antara karya seni yang merupakan
karya seni terbesar pada kerajaan Mughal yang masih bisa dinikmati hingga saat
ini adalah karya-karya arsitektur yang begitu luar biasa yaitu pada masa Akbar
dibangun istana Fatpur Sikri di Sikri, vila, dan masjid-masjid yang indah.
Begitu pula pada masa Syah Jehan, dibangun masjid berlapiskan mutiara dan Taj
Mahal di Agra, Masjid Raya Delhi dan istana indah di Lahore.
DAFTAR PUSTAKA
Hamka. 1987. Sejarah Umat Islam, III.
Jakarta. Bulan Bintang.
Karim, M. Abdul.
2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta. Pustaka Book
Publisher.
Nasution, Harun. 1985.
Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, jilid I. Jakarta. UI
Press.
Nata, Abuddin. 2011. Studi Islam Komprehensif. JakartA. Kencana.
Supriyadi, Dedi. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung. Pustaka
Setia.
Yatim, Badri. 2011. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta. RajaGrafindo
Persada.
[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), h.
129-130
[2] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung:
Pustaka Setia, 2008), h. 248
[5]M. Abdul Karim, Sejarah
Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007),
h. 312
[9] Harun Nasution, Islam ditinjau dari
berbagai aspeknya, jilid I, (Jakarta: UI Press, 1985), Ed. Ke-2 Cet. 2005,
h. 81
Semoga ini bermanfaat bagi kita semua amin...
BalasHapusSemoga ini bermanfaat bagi kita semua amin...
BalasHapusSemoga ini bermanfaat bagi kita semua amin...
BalasHapusAmiin
Hapus